Budi
membaca sebuah novel filsafat tentang bola yang memabukan setelah
sebelumnya ia membuka jendela kamar – kebetulan menghadap Stadion
Siliwangi – sebuah Hotel di Jalan Aceh Bandung. Ia menyepakati ungkapan
Camus yang tenar itu, ‘Dalam hal keutamaan dan tanggung jawab akan
tugas, saya belajar dan berhutang budi pada sepak bola’. Pemahaman
kritisnya mengapungkan sebuah kesimpulan: dalam hal nilai dan makna,
sepakbola telah dikooprasi oleh komersialisasi dan hasrat politik.
Budi
sangat menggemari sepakbola – yang juga ia mainkan ketika kecil sampai
dengan remaja. Baginya sepakbola adalah sebuah permainan yang harus
dimainkan dengan kebajikan dan semangat perikemanusiaan. Tanpa itu
sepakbola tidak lebih sebagai wahana untuk menistakan sesame. Ia ingat
ketika masa di sepulang sekolah menenteng bola ke lapangan dengan jarak 2
km dengan berjalan kaki. Seluruh enegergi ia habiskan untuk berlatih
menghadapi pertandingan perayaan hari kemerdekaan.
Sepakbola
yang dimainkan secara alamiah oleh anak-anak kampong adalah falsafah
keceriaan. Ia mengalami pengalaman sensasional ketika mencetak gol
dengan memelorotkan celana dan berlari kea rah kawan-kawannya –
absurditas dimulai. Oleh sebuah gol dan kemenangan, Budi harus menerima
memar di mata kanan karena pukulan diluar lapangan usai pertandingan.
‘Sepakbola memberikan pelajaran pada sebuah realitas masyarakat yang
primitive,’ ujarnya ketika itu.
Budi
tumbuh dari komunitas yang menggilai sepakbola sekaligus memahfumi
kekerasan. Pemahaman lintas etnis dengan menjadi penggemar kritis Persib
Bandung dengan Ajat Sudrajat dibanding PSIS Semarang – ia lahir dan
tumbuh di sebuah kota kecil di Jawa Tengah – disadarkan pada kekerasan
tidak mengenal etnisitas. Ia menerima intimidasi dari tetangga kampong
hanya oleh sebuah gol penentu kemenangan. ‘Ternyata manusia telah
membuat rumit hal yang sederhana’, pikirnya.
Lapangan sepakbola sebagai altar pembuktian ketrampilan pemain dalam posisi apapun kadang
memberikan fungsi lain – yang tidak kalah factual. Acapkali lapangan
juga berfungsi untuk menggembalakan kambing atau kerbau sehingga
kotorannya membuat subur rumput yang ada. Pada malam purnama, BKKBN
sering menggunakannya untuk memutar film silat dengan tujuan
mengumpulkan orang untuk kampanye keluarga berencana – sebuah pilihan
cerdas. Sementara tidak sedikit digunakan untuk panggung dangdut mendayu
dengan judi putar di sudut-sudut rumah penduduk. Dan sepakbola ternyata
mampu menyatukan berbagai kepentingan di lapangan yang sama.
Pada
makna lain, sepakbola juga memberikan sebuah arti eksistensi. Budi – si
pemain kampong – sangat bangga dengan jersey biru putih kebanggan desa
tempatnya tumbuh. Imaginasinya melayang saat arak-arakan truk supporter
mengiringi mini bus yang membawa team menuju pertandingan. Budi merasa
sangat berharga dengan mewakili nama baik kampong dan pemuda yang tidak
berkesempatan memakai jersey biru putih. Nyanyian kemenangan selalu
menjadi memori indah dalam penggalan hidupnya. Sepakbola adalah sebuah
pentasbihan eksistensi pemuda yang bangga akan akar leluhurnya – dan
bukan semata rupiah yang didapat karenanya.
Pada
satu halaman, Budi menemukan bagaimana Camus menyiasati larangan
neneknya untuk bermain bola. Alasanya sederhana, dengan bermain bola
maka sepatunya akan cepat rusak. Karenanya Camus lebih suka sebagai
kipper yang tidak banyak bergerak. Secara sublime ia menemukan cara
untuk tetap bermain bola dan menikmati keriuhan kerjasama dengan para
bak di depannya. Budi berkesimpulan ‘sepakbola memerlukan cara-cara yang
sublime untuk keluar dari kerumitan’.
Dan
sebelum menutup hari dengan senja, Budi melongok Stadion Siliwangi yang
sedang dipergunakan pemain Persib berlatih. Persib era Ajat Sudrajat
dan Kapten Adeng Hudaya sepertinya sangat berbeda dengan cara Om Farhan
mengelola tim itu. Budi masih hafal pemain yang melawan PSMS Medan
dihadapan 120 ribu penonton di Stadion Senayan Jakarta. Sebuah moment
pentasbihan sepakbola yang penuh spirit kemanusiaan.
(hanya dari guratan multitasking nyambi kerja…kata seorang teman yang jenaka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar