Kamis, 27 September 2012

Sepak Bola: Orgasme Spiritual yang Sublime

Budi membaca sebuah novel filsafat tentang bola yang memabukan setelah sebelumnya ia membuka jendela kamar – kebetulan menghadap Stadion Siliwangi – sebuah Hotel di Jalan Aceh Bandung. Ia menyepakati ungkapan Camus yang tenar itu, ‘Dalam hal keutamaan dan tanggung jawab akan tugas, saya belajar dan berhutang budi pada sepak bola’. Pemahaman kritisnya mengapungkan sebuah kesimpulan: dalam hal nilai dan makna, sepakbola telah dikooprasi oleh komersialisasi dan hasrat politik.

Budi sangat menggemari sepakbola – yang juga ia mainkan ketika kecil sampai dengan remaja. Baginya sepakbola adalah sebuah permainan yang harus dimainkan dengan kebajikan dan semangat perikemanusiaan. Tanpa itu sepakbola tidak lebih sebagai wahana untuk menistakan sesame. Ia ingat ketika masa di sepulang sekolah menenteng bola ke lapangan dengan jarak 2 km dengan berjalan kaki. Seluruh enegergi ia habiskan untuk berlatih menghadapi pertandingan perayaan hari kemerdekaan.

Sepakbola yang dimainkan secara alamiah oleh anak-anak kampong adalah falsafah keceriaan. Ia mengalami pengalaman sensasional ketika mencetak gol dengan memelorotkan celana dan berlari kea rah kawan-kawannya – absurditas dimulai. Oleh sebuah gol dan kemenangan, Budi harus menerima memar di mata kanan karena pukulan diluar lapangan usai pertandingan. ‘Sepakbola memberikan pelajaran pada sebuah realitas masyarakat yang primitive,’ ujarnya ketika itu.

Budi tumbuh dari komunitas yang menggilai sepakbola sekaligus memahfumi kekerasan. Pemahaman lintas etnis dengan menjadi penggemar kritis Persib Bandung dengan Ajat Sudrajat dibanding PSIS Semarang – ia lahir dan tumbuh di sebuah kota kecil di Jawa Tengah – disadarkan pada kekerasan tidak mengenal etnisitas. Ia menerima intimidasi dari tetangga kampong hanya oleh sebuah gol penentu kemenangan. ‘Ternyata manusia telah membuat rumit hal yang sederhana’, pikirnya.

Lapangan sepakbola sebagai altar pembuktian ketrampilan pemain dalam posisi apapun kadang memberikan fungsi lain – yang tidak kalah factual. Acapkali lapangan juga berfungsi untuk menggembalakan kambing atau kerbau sehingga kotorannya membuat subur rumput yang ada. Pada malam purnama, BKKBN sering menggunakannya untuk memutar film silat dengan tujuan mengumpulkan orang untuk kampanye keluarga berencana – sebuah pilihan cerdas. Sementara tidak sedikit digunakan untuk panggung dangdut mendayu dengan judi putar di sudut-sudut rumah penduduk. Dan sepakbola ternyata mampu menyatukan berbagai kepentingan di lapangan yang sama.

Pada makna lain, sepakbola juga memberikan sebuah arti eksistensi. Budi – si pemain kampong – sangat bangga dengan jersey biru putih kebanggan desa tempatnya tumbuh. Imaginasinya melayang saat arak-arakan truk supporter mengiringi mini bus yang membawa team menuju pertandingan. Budi merasa sangat berharga dengan mewakili nama baik kampong dan pemuda yang tidak berkesempatan memakai jersey biru putih. Nyanyian kemenangan selalu menjadi memori indah dalam penggalan hidupnya. Sepakbola adalah sebuah pentasbihan eksistensi pemuda yang bangga akan akar leluhurnya – dan bukan semata rupiah yang didapat karenanya.

Pada satu halaman, Budi menemukan bagaimana Camus menyiasati larangan neneknya untuk bermain bola. Alasanya sederhana, dengan bermain bola maka sepatunya akan cepat rusak. Karenanya Camus lebih suka sebagai kipper yang tidak banyak bergerak. Secara sublime ia menemukan cara untuk tetap bermain bola dan menikmati keriuhan kerjasama dengan para bak di depannya. Budi berkesimpulan ‘sepakbola memerlukan cara-cara yang sublime untuk keluar dari kerumitan’.

Dan sebelum menutup hari dengan senja, Budi melongok Stadion Siliwangi yang sedang dipergunakan pemain Persib berlatih. Persib era Ajat Sudrajat dan Kapten Adeng Hudaya sepertinya sangat berbeda dengan cara Om Farhan mengelola tim itu. Budi masih hafal pemain yang melawan PSMS Medan dihadapan 120 ribu penonton di Stadion Senayan Jakarta. Sebuah moment pentasbihan sepakbola yang penuh spirit kemanusiaan.
(hanya dari guratan multitasking nyambi kerja…kata seorang teman yang jenaka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar