Kamis, 27 September 2012

Cattenacio ala Djohar (Tulisan Bagian #1)

Melihat sepak terjang Djohar Arifin Husein dalam mengelola PSSI saat ini membuat ingatan saya berputar kembali mengenang gaya permainan Italia yang legendaris : CATTENACIO. pola sepakbola ini, maaf kalau saya salah, bertumpu pada permainan kolektif dengan mengutamakan pertahanan(kalau tidak ingin dibilang bertahan total). Pola yang sangat dibenci lawan ini, beberapa kali membuahkan hasil terutama ketika mereka berhasil merengkuh Piala dunia 1982/2006. Walau segala caci maki&benci tertuang di berbagai media oleh musuh2nya, Italia tetap tersenyum, dengan bangga mengangkat tinggi2 trofi yang berhasil direngkuhnya. Banyak yang berkoar2 membenci, tapi banyak juga yang memuji, dan Italia membungkam kebencian dan membalas pujian dengan 1 kata : PRESTASI!

Djohar Arifin, sang Professor, mungkin saja terinspirasi gaya bermain Italia itu dalam mengelola organisasinya. Setahun lebih kepemimpinannya di PSSI, beberapa kali ia berganti “gaya main” dalam menjalankan “kesebelasan”nya ini. Diawal memegang kendali PSSI, Djohar dengan tangkas bermain tiki-taka ala Barcelona, dengan seringnya bermain 1-2 sentuhan melempar isu, opini, pendapat, maupun polemik ke publik. Ia cukup sukses untuk beberapa saat, setelah berhasil memenangkan hati masyarakat yang lebih banyak mendukungnya “membersihkan” PSSI dan menggelar liga tanpa APBD.

Para “pemain dari kesebelasan rezim lama” dan pihak yang kehilangan “ladang uang” dari perputaran kompetisi lalu tidak tinggal diam menyaksikan permainan Djohar. Disusunlah kontra strategi untuk menjatuhkan Djohar dengan gaya Total Football. Dengan gaya bermain ala Ajax dan timnas Belanda ini, para pembenci Djohar(biar gampangnya kita sebut aja Djohar-haters), berhasil memporak-porandakan tiki-taka ala Djohar. Djohar-haters sadar untuk mengalahkan strategi untuk mengalahkan Djohar harus dipakai teknik offensif pula, sebab bagaimanapun mereka berkepentingan dengan PSSI ini, semakin lama Djohar berkuasa, semakin rentan pula kehidupan mereka(yang kebanyakan cuma numpang”mencari sesuap nasi”) disana.

Dan Djohar yang keasyikan “bermain” tiki-taka sepertinya saat itu tidak siap dengan keadaan ini. Ia yang baru menjabat di PSSI, belum terlalu paham dengan gaya main para oknum orang2 lama dilingkup PSSI yang kadang culas, bermuka dua, suka bermain 2 kaki, bahkan rela mengorbankan apa saja demi tujuannya tercapai serta mengamankan “ladang” mereka. teknik total football dijalankan dengan masif oleh Djohar-haters di darat maupun udara. Kolaborasi permainan cepat “barisan sakit hati”, golongan yang tak “diakomodasi”, plus dukungan penuh 2 TV “bersaudara”, 1 situs internet “generik” merk global, dan beberapa koran serta tabloid olahraga terkemuka, ditambah asupan “obat kuat” berlebih dari sebuah konglomerasi besar, buat Djohar&pendukungnya(biar gampang kita sebut Djohar-lovers) kelimpungan. Permainan lini tengah&pertahanan Djohar-lovers kocar-kacir menahan gempuran bertubi2. jauh sebelum gempuran total, para Djohar-haters lebih dahulu mengirim “sinyal awal” dengan mengisolasi Arya Abhiseka, salah satu think thank utama Djohar-lovers, dengan kasus penyelewengan dana organisasi yang dipimpinnya. Kuncian terhadap Arya menimbulkan kegamangan. Buktinya sepeninggalannya, LPI berjalan “kurang gemerlap” dibanding musim sebelumnya. Setelah berhasil mengirimkan “sinyal awal” tersebut, Djohar-haters pun melancarkan gempuran terang2an.

Gempuran  mula2 dipicu penolakan klub2 LSI mengakomodir klub LPI yang berujung mundurnya beberapa anggota Exco dan enggannya “klub2 elit” LSI bergabung di”Liga baru” bentukan PSSI. tidak cukup itu saja, Djohar-haters juga meng-copy-paste politik “devide et impera”nya penjajah Belanda dengan melakukan berbagai aneksasi+pemecah-belahan terhadap sejumlah klub maupun Pengda. Hasilnya terbentuklah beberapa klub dan Pengda “kembar”. Djohar-haters tersenyum lebar menatap keberhasilan politik “kolonial”nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar