Melihat sepak terjang Djohar Arifin Husein dalam
mengelola PSSI saat ini membuat ingatan saya berputar kembali mengenang
gaya permainan Italia yang legendaris : CATTENACIO. pola sepakbola ini,
maaf kalau saya salah, bertumpu pada permainan kolektif dengan
mengutamakan pertahanan(kalau tidak ingin dibilang bertahan total). Pola
yang sangat dibenci lawan ini, beberapa kali membuahkan hasil terutama
ketika mereka berhasil merengkuh Piala dunia 1982/2006. Walau segala
caci maki&benci tertuang di berbagai media oleh musuh2nya, Italia
tetap tersenyum, dengan bangga mengangkat tinggi2 trofi yang berhasil
direngkuhnya. Banyak yang berkoar2 membenci, tapi banyak juga yang
memuji, dan Italia membungkam kebencian dan membalas pujian dengan 1
kata : PRESTASI!
Djohar Arifin, sang Professor, mungkin saja terinspirasi gaya bermain
Italia itu dalam mengelola organisasinya. Setahun lebih kepemimpinannya
di PSSI, beberapa kali ia berganti “gaya main” dalam menjalankan
“kesebelasan”nya ini. Diawal memegang kendali PSSI, Djohar dengan
tangkas bermain tiki-taka ala Barcelona, dengan seringnya bermain 1-2
sentuhan melempar isu, opini, pendapat, maupun polemik ke publik. Ia
cukup sukses untuk beberapa saat, setelah berhasil memenangkan hati
masyarakat yang lebih banyak mendukungnya “membersihkan” PSSI dan
menggelar liga tanpa APBD.
Para “pemain dari kesebelasan rezim lama” dan pihak yang kehilangan
“ladang uang” dari perputaran kompetisi lalu tidak tinggal diam
menyaksikan permainan Djohar. Disusunlah kontra strategi untuk
menjatuhkan Djohar dengan gaya Total Football. Dengan gaya bermain ala
Ajax dan timnas Belanda ini, para pembenci Djohar(biar gampangnya kita
sebut aja Djohar-haters), berhasil memporak-porandakan tiki-taka ala
Djohar. Djohar-haters sadar untuk mengalahkan strategi untuk mengalahkan
Djohar harus dipakai teknik offensif pula, sebab bagaimanapun mereka
berkepentingan dengan PSSI ini, semakin lama Djohar berkuasa, semakin
rentan pula kehidupan mereka(yang kebanyakan cuma numpang”mencari sesuap
nasi”) disana.
Dan Djohar yang keasyikan “bermain” tiki-taka sepertinya saat itu tidak
siap dengan keadaan ini. Ia yang baru menjabat di PSSI, belum terlalu
paham dengan gaya main para oknum orang2 lama dilingkup PSSI yang kadang
culas, bermuka dua, suka bermain 2 kaki, bahkan rela mengorbankan apa
saja demi tujuannya tercapai serta mengamankan “ladang” mereka. teknik
total football dijalankan dengan masif oleh Djohar-haters di darat
maupun udara. Kolaborasi permainan cepat “barisan sakit hati”, golongan
yang tak “diakomodasi”, plus dukungan penuh 2 TV “bersaudara”, 1 situs
internet “generik” merk global, dan beberapa koran serta tabloid
olahraga terkemuka, ditambah asupan “obat kuat” berlebih dari sebuah
konglomerasi besar, buat Djohar&pendukungnya(biar gampang kita sebut
Djohar-lovers) kelimpungan. Permainan lini tengah&pertahanan
Djohar-lovers kocar-kacir menahan gempuran bertubi2. jauh sebelum
gempuran total, para Djohar-haters lebih dahulu mengirim “sinyal awal”
dengan mengisolasi Arya Abhiseka, salah satu think thank utama
Djohar-lovers, dengan kasus penyelewengan dana organisasi yang
dipimpinnya. Kuncian terhadap Arya menimbulkan kegamangan. Buktinya
sepeninggalannya, LPI berjalan “kurang gemerlap” dibanding musim
sebelumnya. Setelah berhasil mengirimkan “sinyal awal” tersebut,
Djohar-haters pun melancarkan gempuran terang2an.
Gempuran mula2 dipicu penolakan klub2 LSI mengakomodir klub LPI yang
berujung mundurnya beberapa anggota Exco dan enggannya “klub2 elit” LSI
bergabung di”Liga baru” bentukan PSSI. tidak cukup itu saja,
Djohar-haters juga meng-copy-paste politik “devide et impera”nya
penjajah Belanda dengan melakukan berbagai aneksasi+pemecah-belahan
terhadap sejumlah klub maupun Pengda. Hasilnya terbentuklah beberapa
klub dan Pengda “kembar”. Djohar-haters tersenyum lebar menatap
keberhasilan politik “kolonial”nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar