Pilihan pola main yang membingungkan jika melirik latar belakangnya
dulu saat diawal2 memegang kendali PSSI. Dimana ia cukup baik bermain
tiki-taka ala Barcelona dengan melontarkan opini cerdas/bermain
efektif&efisien ala mesin diesel Jerman saat “membersihkan” PSSI
dari Djohar-haters. Pilihan Cattenacio ala Djohar, membuatnya harus
keluar dari pakemnya sebagai orang yang berlatarbelakang kehidupan
Batak, yang biasanya, maaf, bersuara keras, tegas&memiliki gaya main
rap2. Ia tetap bergeming walau diserang kiri-kanan. Ia juga tetap
berterimakasih walau penonton yang datang menyaksikan laga Timnas dapat
dihitung dengan jari. Prof.Djohar versi 2012 ini yang hingga sekarang
tetap tegak berdiri, menahan gempuran dengan bertahan total ala
Cattenacio. Ia mungkin paham benar, se-offensive apapun lawan pasti
jenuh juga jika tidak berhasil membobol gawang&menciptakan gol
kemenangan. Ia juga mungkin tahu, seberapa brutal “tackling keras”
Djohar-haters padanya pasti akan membuahkan peringatan, kartu
kuning/bahkan kartu merah dari pengadil dilapangan. &pengadil
dilapangan itu baginya bukanlah wasit dilapangan, yang dalam
pertandingan PSSIvsKPSI ini seharusnya adalah Menpora&KONI. Pengadil
sebenarnya adalah supporter sejati Timnas PSSI diluar sana. Yang tetap
setia pada Timnas apapun kondisinya, bukan “generasi wangi2″ yang cuma
datang ke stadion saat Timnas menang, hanya numpang nongkrong/yang hanya
pengen exist sambil membawa2 infotaiment. Ia sadar sikap adil Menpora
susah diharapkan menyusul berbagai “kasus miring” yang menimpa
Kemenpora. Ia sadar juga sikap fair play KONI pun sebaiknya tidak usah
ditunggu menyusul perselingkuhan KONI&KPSI, yang mementahkan semua
keputusan&mengusir PSSI di PON 2012 Riau, sekaligus mengacaubalaukan
penyelenggaraan pertandingan sepakbola di PON tersebut, yang mungkin
merupakan penyelenggaraan PON paling berantakan sepanjang sejarah,
&harusnya jajaran KONI MALU DENGAN ITU! Djohar-lovers sekarang
tinggal menanti keajaiban, datangnya kembali supporter sejati Timnas
yang gerah dengan segala kesemberonoan KPSI untuk memberikan Kartu Merah
pada Djohar-haters, lalu kemudian mengusirnya dari lapangan sepakbola
Indonesia, seperti euforia yang terjadi saat menjatuhkan rezim Nurdin
Halid terdahulu.
Ibaratnya dalam pertandingan reguler Timnas, saya yakin saat ini
Physioterapist Timnas, Mathias Ibo, sudah bolak-balik masuk lapangan
untuk merawat Djohar-lovers. Gempuran desas-desus, berita miring, maupun
kesalahan sudah mengoyak terlalu dalam. “Tackling2 keras” berbau
komentar negatif terhadap kinerja Djohar sudah terlalu sering. Jadi
mungkin saja dikalangan Djohar-lovers banjir cedera sudah menanti.
Semoga saja cuma cedera ringan, yang bisa sembuh dengan semprotan pain
killer semata, bukan cedera berat yang mengharuskan pemain meninggalkan
lapangan, naik ke meja operasi, &menjalani perawatan panjang.
Seperti “cedera” yang dialami Sekjen PSSI, Tri Gustoro, dimenit2 awal,
yang memaksanya harus keluar gelanggang, he3.
Memperhatikan line-up pemain, sebenarnya Djohar-lovers punya kans
bertahan lebih lama dengan menggunakan Cattenacio. Tongkrongan lini
pertahanannya tergolong cukup yahud. Lihat saja kiper berpengelaman Bob
Hippy, ditopang 2 bek tengah kawakan : Bernard Limbong&Saleh
Mukaddar plus 2 bek sayap : Catur Saptono dikanan plus Hadiandra dikiri.
Ini merupakan komposisi gahar yang cukup untuk sekadar menghalau segala
komentar buruk&serangan lawan. Lini tengah yang dikhawatirkan
pincang sepeninggal Tri Gustoro ternyata mendapat metronom baru yang
“cukup” punya pengalaman. Sosok Sekjen anyar PSSI, Halim Mahfudz,
melengkapi formasi trio lini tengah, otak penggerak permainan, bersama
Djohar&Farid Rahman, yang tenang tapi memiliki visi&pergerakan
mematikan. Tridente centrocampista PSSI dilengakpi 2 winger handal
dengan agresivitas tak terduga tapi memiliki “daya sengat tinggi” :
Todung Mulya&Sihar Sitorus. Permasalahan pelik justru ditemukan
dilini depan. Striker tunggal, Wijayanto, dedengkot LPIS, justru sering
kebingungan jika bermain. Timing pengambilan keputusannya sering ga pas,
serba salah, &gantung, yang tercermin dalam sikapnya saat
menahkodai LPIS, hal yang sangat disesali para pemerhati sepakbola
diluar sana. Ini yang mengkhawatirkan, mengingat bermain dengan pola
Cattenacio membutuhkan ujung tombak cepat, lincah&mematikan, untuk
memanfaatkan sedikit&kecilnya peluang menciptakan gol, mengingat
gaya permainannya yang bertahan total.
Dahulu mungkin ada 2 striker muda, beda&berbahaya harapan utama
Djohar-lovers untuk menetralisir sekaligus mematikan Djohar-haters. Arya
Abhiseka&Llano Mahardika, duo striker muda itu, dahulu sangat
sukses setelah “mengegolkan” LPI musim I menjadi “dilirik”
khalayak&sponsor. Sayang saat ini mereka tak bisa turun gelanggang
karena “skorsing” akibat dari kasus penyalahgunaan dana organisasi
pemain oleh Arya, &transfer ilegal Tibo yang memalukan yang
“diotaki” Llano. Ketidakhadiran mereka membuat barisan pertahanan
Djohar-haters, yang sebagian besar diisi pemain tua, namun
licik&kaya pengalaman, sedikit bernapas lega. Setidaknya mereka
tidak akan sering beradu sprint dengan 2 anak muda itu, yang mungkin
saja bisa menyebabkan mereka ngos2an-bengek-kehabisan napas-butuh
bantuan napas buatan-&atau bahkan yang terburuk : tiba2 kolaps
dilapangan,he3….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar