Ada suatu peribahasa yang saya kenal/ketahui dari buku “Inconvenient
Truth” dari Al-Gore, seorang yang berkampanye akan bahayanya global
warming di seluruh belahan dunia. Peribahasa itu berbunyi demikian “Jika
ingin pergi cepat, berjalanlah sendiri; jika ingin pergi jauh,
berjalanlah bersama” yang menurut saya suatu konsep bukan saja
menunjukkan kebersamaan tetapi konsep integrasi antar komponen untuk
mengantarkan mereka berjalan jauh.
Integrasi menurut KBBI adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang
utuh atau bulat. Dan konsep integrasi sebenarnya bisa terlihat dari
berbagai macam produk teknologi, konsep perusahaan, maupun tubuh manusia
itu sendiri. Jika kita berhasil menjalankan konsep integrasi dengan
benar dan tepat sasaran percayalah bahwa kita akan berjalan jauh.
Di dalam industri sepakbola modern, konsep integrasi bahkan sudah dibuat
lebih spesifik dan terdefinisi dengan baik. Liga Inggris merupakan
salah satu contoh terbaik, bagaimana mereka mengombinasikan sisi
pemasaran, sisi sosial, dan sisi olahraga menjadi satu kemasan yang
bernama Barclays Premiere League yang digandrungi hampir seluruh
penduduk dunia saat ini. Sejak tragedy Hillsborough dan Heysel, Liga
Inggris membangun diri kembali dari titik terendah untuk bisa mencapai
seperti saat ini. Dan kita hanya melihat hasilnya saja dan tanpa
memperdulikan seberapa berat usaha mereka membangun kembali Liga
tersebut. Dan bukan itu saja, mereka juga mengedukasi para penikmat
berat sepakbola untuk menjunjung tinggi sportifitas dan kampanye yang
teraktual adalah memusuhi rasisme. Dan hal-hal tersebut didukung oleh
keprofesionalan dari setiap komponen/stakeholder Liga itu sendiri. Dari
pembuat peraturan selaku federasi, pemilik klub, pemain, pelatih dan
staf, serta supporter. Tidak gampang membentuk sebuah liga berkualitas
yang bangsa Indonesia seperti saya mimpikan.
Dan PSSI sekarang masih jauh dari kata profesional dalam mengatur sebuah
Liga berjalan dengan baik. 2 Liga dalam 1 negara seakan memecahbelah
konsep “Persatuan”. PSSI tidak mendapatkan dukungan karena memang mau
cara instan dalam membangun sebuah Liga berkualitas dan mengesampingkan
sisi proses. Setiap masa kepemimpinan PSSI selalu mengejar prestasi yang
terlihat ketimbang yang tidak terlihat. Prestasi di kedepankan dan
pembinaan dilupakan. Tidak ada rancang biru untuk mencapai visi
sepakbola Indonesia disertai misi-misi yang jelas untuk mencapainya! Dan
parahnya jika mereka ingin mencapai visi tersebut dalam jangka pendek
sehingga menimbulkan keputusan-keputusan yang bersifat instan.
Masa kepemimpinan PSSI acap kali ingin ditunjukkan dengan prestasi yang
kelihatan dari Tim Nasional (Timnas). Menjuarai sebuah kompetisi adalah
harga mati, atau mencapai target yang dibebankan harus dicapai. Timnas
kita diberi beban berat hanya untuk memuaskan nafsu instan para pengurus
PSSI. Apakah tidak konyol jika kita bermimpi masuk ke Piala Dunia 2014
saat berada dalam grup neraka? Walaupun bola itu bundar, kadangkala kita
juga sebagai masyarakat harus berpikir realistis untuk hal-hal
demikian. Dalam keadaan liga yang carut marut seperti ini, kita bagaikan
pungguk yang merindukan bulan.
Selain pengurus PSSI, kita juga para penikmat sepakbola harus dibina.
Kerusuhan antar kelompok supporter dan perilaku bagai orang-orang tanpa
peradaban harus dihilangkan atau direduksi seminimal mungkin. Kita juga
harus dididik bagaimana sportifitas itu. Sportifitas bukan saja menerima
kekalahan dan tetap mendukung tim tersebut. Jauh dari itu, sportifitas
itu menunjukkan cara bagaimana kita akan bersikap sebagai penikmat
sepakbola. Sportifitas menunjukkan kualitas diri seseorang, kualitas
dari pendukung tim tersebut, serta kualitas dari tim yang mereka dukung.
Fasilitas persepakbolaan Indonesia juga jauh dari standard, hanya
beberapa daerah saja yang memiliki fasilitas berstandard internasional
baik itu stadion maupun tempat latihannya. Di satu sisi, pemerintah
sebagai pihak penyelenggara negara yang lebih besar dari PSSI terlihat
ogah mendukung. Dan saya melihat hal tersebut adalah sebuah kewajaran,
karena tidak ada prestasi yang kelihatan maupun yang tidak terlihat dari
PSSI akhir-akhir ini. Bahkan keburukan lebih banyak daripada prestasi.
Pemerintah terlihat berat menginvestasikan uang mereka ke proyek-proyek
sepakbola dan itu terlihat tidak adanya dukungan saat PSSI ikut
mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Di lain pihak itu
merupakan keputusan politis, tapi saya melihat bahwa pemerintah tau diri
melihat kondisi sepakbola Indonesia. Di sisi lain, sedikit investor
yang ingin masuk ke klub-klub liga Indonesia kecuali klub tersebut
memiliki basis supporter yang melimpah seperti Persib atau Persija.
Tidak ada cara lain selain duduk bersama, para stakeholder sepakbola,
baik itu pengurus federasi, pemain, pelatih, wasit, kelompok supporter,
pemilik klub, pebisnis yang ingin berinvestasi, sponsor, serta
pemerintah menciptakan cetak biru yang dibuat lebih spesifik, dan siapa
saja pengurus yang akan memimpin PSSI harus mengikuti cetak biru yang
dirancang tersebut. Setiap masa kepengurusan harus terintegrasi dengan
cetak biru yang dibuat. Janganlah para pengurus PSSI melihat hasil,
tetapi lihatlah bagaimana proses itu seharusnya dilakukan. Setiap detail
harus diperhatikan, setiap aspek harus menjadi perhatian. Sama seperti
komponen teknologi harus terpadu di setiap aspeknya. PSSI jangan hanya
memikirkan diri sendiri dalam bekerja, karena sepakbola Indonesia adalah
milik seluruh masyarakat Indonesia, PSSI hanyalah pengatur dan pengarah
agar sepakbola Indonesia tetap berada pada jalur yang benar. Para
pengamat pun memiliki fungsi untuk mengawasi agar PSSI selalu ada
dijalur yang benar bukan untuk menghakimi pengurus PSSI. Ciptakanlah
sesuatu yang sempurna untuk mencapai hasil yang sempurna. Sama seperti
perkataan ayah angkat Steve Jobs “tanda dari keahlian yang hebat adalah
memastikan aspek yang akan tetap tersembunyi, dibuat dengan indah” bahwa
semua aspek harus terintegrasi sempurna. Tuhan ada di setiap detail
(Steve Jobs). Ayo maju Indonesia, maju persepakbolaan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar