Ketika mengambil alih Northampton Town tahun 1907, pelatih Herbert
Champan menyadari betapa mendominasi bola tidak cukup untuk memenangkan
pertandingan. Kemenangan, menurut Chapman, lebih banyak ditentukan oleh
kapan dan dalam keadaan apa sebuah tim menguasai bola, dan bagaimana
menyerang lini belakang lawan.
Chapman tercatat sebagai pakar teori counterattacking football pertama.
Ia mengembangkan prinsip-prinsip bermainnya, dan meraih sukses di
Huddersfield dan Arsenal. Gaya bermain Chapman tidak populer. Kritikus
menuduh Chapman mengembangkan gaya permainan untuk para pengecut, dan
mengkhianati semangat pertandingan.
Chapman tidak peduli. Ia terus mengembangkan permainannya. Kini, gaya
bermain Chapman menjadi salah satu pilihan bagi tim-tim di seluruh
dunia.
Di Euro 2012, gaya bermain Chapman -- meski mungkin orang tidak ingat
lagi pada pelatih legendaris ini -- terlihat dalam laga
Belanda-Denmark, Jerman-Portugal, Spanyol-Italia, Irlandia-Kroasia, dan
Prancis-Inggris. Pengaruh Chapman juga sempat terlihat pada laga babak
pertama Polandia-Yunani.
Sebagian tim bermain proaktif; menyerang sejak menit pertama dan
berupaya mencetak gol cepat untuk menggoyahkan stabilitas psikologis
lawan. Tim lainnya memilih reaktif; bertahan, seraya menunggu kesempatan
melakukan serangan balik atau set-play.
Jonathan Wilson, kolumnis sepakbola The Guardian, menulis
setiap tim yang hadir di turnamen seperti Kejuaraan Eropa akan
terombang-ambing pada pilihan; proaktif dan reaktif. Namun di Euro 2012
setiap tim seolah telah menentukan pilihan jauh hari sebelum tiba di
Ukraina dan Polandia.
Spanyol memainkan tiki-taka. Italia memainkan catenaccio. Inggris,
terinspirasi sukses Chelsea, memarkir bis di depan gawang saat
menghadapi Prancis.
Melumpuhkan Tiki-Taka
Spanyol identik dengan Barcelona dan tiki-taka. Di liga domestik,
Barca memainkan gaya ini, dan menjadikannya juara. Di level
internasional, Spanyol menggunakan tika-taka untuk menjadi juara Piala
Dunia kali pertama.
Di level domestik, Real Madrid mungkin satu-satunya tim yang bisa
meladeni permainan tiki-taka Barcelona dengan sepakbola menyerang. Itu
pun setelah Jose Mourinho belajar keras dan menelan beberapa kekalahan
dalam dua musim.
Di level internasional, menurut catatan Jonathan Wilson, hanya ada
satu tim yang mampu meladeni tiki-taka Spanyol di Piala Dunia 2010,
yaitu Cile di bawah pelatih Marcelo Bielsa. Cile kalah 1-2, setelah
Marco Estrada dikeluarkan, tapi mampu menekan Spanyol dengan sepuluh
pemain sampai menit terakhir.
Del Bosque mengenang laga ini dengan satu komentar menarik; "Jantung
saya mulai berdetak normal setelah wasit meniup peluit akhir laga."
Chelsea lebih memilih memarkir bis di depan gawang saat meladeni
Barcelona di semi-final Liga Champions 2012. Roberto Di Matteo juga
menggunakan cara sama saat meladeni Bayern Munich di final.
Namun Chelsea bukan tim pertama yang menggunakan cara itu untuk
menghadapi tiki-taka. Paraguay melakukannya di Piala Dunia 2010. Gerardo
Martino, pelatih Paraguay, menginstruksikan pemainnya membiarkan
Spanyol mengotak-atik bola di lapangan tengah, dan berreaksi cepat
menutup seluruh ruang pertahanan saat Xavi, Andres Iniesta, dan David
Villa, mulai masuk ke jantung pertahanan.
Di garis tengah lapangan, Nelson Haedo Valdez menunggu umpan-umpan
jauh dari lini belakang, menerima, melarikan bola dengan kecepatan
tinggi, dan bertarung dengan Carles Puyol. Valdez menjalankan tugas ini
dengan sangat baik, yang membuat lini belakang Spanyol kelabakan. Iker
Casillas panik, dan nyaris membuat blunder. Gerard Pique terpaksa
menjatuhkan Oscar Cardozo, yang berakibat penalti.
Paraguay kalah 0-1, tapi Martino memperlihatkan selalu ada cara
melumpuhkan tiki-taka, karena permainan seperti ini membutuhkan
keseimbangan antara possesion and position.
Zdenek Zeman, pelatih baru AS Roma, mengatakan tiki-taka adalah
permainan sepakbola mubazir yang bikin lelah mata penonton. Tiki-taka
bisa dikalahkan oleh permainan efektif dan efisien.
Reaktif bukan negatif. Italia memainkan sepakbola reaktif, namun -- mengacu pada teori Chapman -- Azzurri
kerap tidak pada posisi terbaik untuk menyerang saat mendapat bola.
Mereka hanya memperoleh sekali lewat Andrea Pirlo, dan menjadi gol.
Denmark melakukan hal serupa ketika mengalahkan Belanda lewat gol
Michael Krohn-Dehli. Inggris, setidaknya di babak pertama, juga
melakukan hak serupa.
Jerman menjadi tim paling proaktif dalam dua tahun terakhir, menyusul
sukses mengalahkan Australia, Inggris, dan Argentina, di Piala Dunia
2010. Namun pelatih Joachim Low pasti melihat bagaimana Bayern Muenchen
putus asa menghadapi Chelsea di final Liga Champions.
Sejak Piala Dunia 2010, telah banyak yang tahu kelemahan tiki-taka,
tapi gaya ini belum akan habis. Setidaknya, dalam dua tahun ke depan
Barca dan Spanyol, masih akan menggunakannya.
Asas Ketidak-pastian
Sejarah sepakbola mencatat sejumlah legenda sepakbola proaktif; Rinus
Michels di Ajax, Arrigo Sacchi bersama Milan, dan Pep Guardiola di
Barcelona. Di sisi yang berbeda, reactive football dimainkan
dengan sukses saat Arsenal di bawah Chapman, Inter Milan di bawah
Helenio Herera, dan Chelsea sejak ditangani Roberto Di Matteo.
Keduanya terlihat berseberangan, tapi sebenarnya tidak. Menurut
Sacchi, tim-tim besar memiliki karakteristik yang sama; ingin mengontrol
lapangan dan menguasai bola. "Pemain harus tahu kapan menjaga lawan,
dan kapan menguasai ruang."
Satu hal lagi, masih menurut Sacchi, jangan gunakan respon lawan
sebagai titik referensi. Pemain di sebuah tim besar pasti tahu bagaimana
reaksi kawan ketika salah satu rekannya menguasi bola.
"Sepakbola sangat rumit. Ketika Anda menyerang, Anda harus tetap
mampu menjaga jarak dengan pertahanan," demikian Sacchi. "Anda harus
memilih waktu yang tepat saat menyerang, dan metode mumpuni untuk
menerobos pertahanan. Jika Anda tidak memiliki semua ini, atau
kehilangan salah satunya, permainan tidak akan harmonis."
Sebelum Sacchi, Michels memperlihatkan sepakbola adalah permainan tim. Ajax di bawah Michels tidak punya soloist,
alias pemain yang paling menonjol. Sacchi membutuhkan trio Belanda;
Ruud Gullit, Marco van Basten, dan Frank Rijkaard, sebagai kreator di
semua lini. Bersama ketiganya, Milan bermain sebagai unit.
Sacchi, Michels, Herrera dan Chapman, boleh saja menjadi legenda
dengan gaya bermain yang dikembangkan. Namun, semua pasti sepakat bahwa
ada prinsip ketidak-pastian dalam sepakbola.
Artinya, sepakbola adalah permainan relatif, alias tidak mutlak.
Sebuah strategi yang akan dimainkan membutuhkan sumber daya yang
terlatih untuk memainkannya, karakter lawan yang akan dihadapi, kondisi
lapangan dan cuaca. Sebagai contoh, strategi apa pun tidak akan berjalan
jika dimainkan di dataran tinggi Quito, ibu kota Ekuador karena pemain
kehabisan nafas setelah berlari 30 menit.
Ketika Spanyol memasukan Fernando Torres dalam laga melawan Italia,
Del Bosque melihat timnya kehilangan kontrol atas ritme permainan.
Namun, Spanyol punya beberapa peluang mencetak gol.
Pilihannya memang serba sulit, tapi keharmonisan adalah kunci sebuah tim menjadi juara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar