Minggu, 30 September 2012

Liga Champions: Uang Telah Menyihir Segalanya

13480258661760294433

Tropi Liga Champions merupakan salah satu tropi yang paling diincar oleh pemain bola manapun yang merumput di Eropa. Walaupun untuk menjadi juara cukup dengan hanya 10 kali bertanding, tetapi nilai tropi Liga Champions memang lebih tinggi daripada menjadi juara liga di masing-masing negara. Beberapa pemain top sampai rela berganti kostum manakala klubnya gagal masuk dalam zona liga Champion. Ashley Cole sampai mengatakan kalau main di Liga Eropa (UEFA Cup) adalah sebuah aib, apalagi tidak lolos sama sekali ke turnamen elite Eropa.

Bukan masalah throphy semata hingga seorang Abramovich pun sampai tergila-gila dan terobsesi untuk sekedar mencium throphy ini tanpa peduli seberapa besar investasi yang digelontorkan untuk membangun kekuatan Chelsea. Sir Alex Fergusson saja yang sudah mengumpulkan lebih dari satu lemari thropy dan berbagai macam penghargaan, menganggap bahwa dengan menjuarai Liga Champion, sebuah klub dapat tetap menjaga reputasi dan kebesaran klub, terutama buat MU sendiri. Dan tadi malam kita melihat seorang Mourinho pun berlagak seperti anak kecil yang kegirangan manakala CR7 memastikan kemenangan Real Madrid atas City tadi malam, karena bisa jadi turnamen ini menjadi harapan terakhir meraih prestise setelah tertinggal jauh dari Barca. Lalu apakah demi sebuah piala saja?
Tropi dan gengsi bukanlah tujuan utama. Mungkin alasan yang masuk akal adalah begitu menggodanya aliran dana dalam turnamen bola akbar tahunan di daratan Eropa ini. Dengan estimasi pendapatan komersial dari penyelenggaraan Liga Champions 2012-2013 adalah sebesar 1,34 miliar Euro atau setara Rp16,6 trilyun, siapa yang tidak tergiur.

Dengan asumsi 75% dari pendapatan komersial dibagikan ke klub yang terlibat dalam turnamen ini, maka lebih dari 1.000 juta euro akan dibagikan ke masing-klub yang terdiri dari fixed payment sebesar 500,7 juta euro dan market pool sebesar 409,6 juta euro. Fixed payment sebesar 500,7 juta euro (setara Rp6,2 trilyun) diberikan sesuai aturan UEFA untuk klub yang lolos dari semenjak babak play-off fase grup hingga babak final dengan perincian sebagai berikut:

  • 20 klub dibabak play-off mendapat 2,1 juta euro (sekitar Rp26 miliar) per klub

  • 32 klub dibabak fase grup mendapatkan 8,6 juta euro . Pada fase ini ada bonus kemenangan 1 juta euro (Rp12,4 miliar) per laga, bonus draw sebesar 500.000 euro (Rp6,2 miliar)

  • 16 klub di babak fase knock out sebear rp3,5 juta (setara Rp43,4 miliar)

  • 8   klub di perempat finalmendapat 3,9 juta euro

  • 4 klub di semifinal masing-masing mendapat 4,9 juta euro

  • 2 klub  yang masuk ke Final mendapatkan masing-masing 2,2 juta euro untuk runner up dan 10,5 juta euro
Sementara untuk market pool, nilai 409,6 juta euro (setara Rp5 triliun) dikucurkan sesuai proporsi hasil penjualan hak siar televise sejak babak penyisihan grup. MU, Real Madrid, Barca adalah klub dengan perolehan hak siar televisi yang paling tinggi, maklum saja mereka mempunyai jutaan fans fanatik di seluruh dunia. Real Madrid , Arsenal, PSG dan klub yang menang dalam pertandingan semalam setidaknya sudah menabung sebesar 9,6 juta euro hingga pertandingan pertama fase grup.

Jadi wajar saja jika laga Liga Champion menjadi menarik karena dibalik semua itu ternyata uanglah yang berbicara. Dapat dibayangkan jika MU bisa menyapu bersih kemenangan hingga menjadi juara, maka dengan asumsi perhitungan di atas, MU akan mendapat kucuran dana segar antara 40 sd 60 juta euro setahun. Ini menjadi semakin menarik sebab mulai tahun depan fair play financial akan diterapkan oleh UEFA terhadap seluruh klub tanpa terkecuali. Hingga ajang Liga Champion ini bisa jadi ajang untuk mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya dan bukan hanya gelar semata.

Uang telah menyihir sebuah turnamen untuk terus diikuti dan dinikmati, termasuk di Indonesia dimana mungkin jutaan pemirsa tidak peduli harus begadang dua malam setiap dua minggu hanya untuk menonton pertandingan bola. Tidak peduli juga besoknya mata mengantuk berat saat bekerja, yang penting besoknya ada obrolan bola yang menarik untuk siperdebatkan di tempat kerja.

Sementara di sisi lain stasiun TV pun berebut menyiarkan langsung acara ini, padahal jam tayang siaran ini adalah dini hari. Tidak bisa dipungkiri karena animo masyarakat untuk menyaksikan acara ini begitu tinggi sehingga banyak turunan - turunan acara dan kegiatan yang bisa menjadikan ladang bagi pemasukan iklan.
Selamat tersihir dan selamat menonton Liga Champion dan mudah-mudahan tahun ini dapat melahirkan juara sejati dan bukan hanya mengandalkan strategi parkir bus untuk menjadi juara seperti tahun lalu.

Jumat, 28 September 2012

Gagal Orgasme

Dibanding pada pengurus sepakbola yang sah, serba-sebi orgasme pada pengurus yang tidak sah jauh lebih misterius dan tidak pernah ada habisnya untuk dibahas. Termasuk ketika beberapa pengurus susah mencapai orgasme, penyebabnya bukan cuma karena kurang terangsang atau lemah syahwat.

Beberapa hal yang bisa membuat pengurus sepakbola tidak sah yang susah orgasme saat melakukan aksinya adalah sebagai berikut :
  • Penyakit Bawaan
Berbagai jenis penyakit kronis mulai dari iri, dengki, sok jago, merasa kuat dan merasa benar serta ego yang tinggi bisa merusak fungsi syahwat para pengurus sepakbola yang tidak sah ini. Bukan cuma secara fisik saja, tetapi juga secara psikologis sebab kadang adanya penyakit tersebut bisa mengurangi rasa percaya diri.
  • Obat-obatan berupa Dukungan finansial
Beberapa dukungan finasial memiliki efek samping yang membuat pengurus ini menjadi kurang peka terhadap syahwatnya sendiri, karena (dalam hati kecil mereka) ada rasa untuk “nilep” dahulu, sebelum untuk melancarkan syahwat ke fihak lain. Contohnya adalah dukungan financial untuk mengontrol media, yang akhirnya kembali kepada yang punya duit, atau dukungan financial untuk antialergi terhadap hujatan, yakni dengan tampilan yang kelihatan “berwibawa”, hal-hal demikian yang memang dilaporkan sering memicu gangguan orgasme.
  • Penuaan
Seiring bertambahkan usia, para penggelar syahwat, tidak sadar bahwa pemain-pemain yang mereka banggakan sudah sampai batas akhir, tetapi menurutnya merekalah yang pantas. Termasuk juga para pemegang syahwat, sebetulnya juga sudah mengalami penuaan pemikiran, dengan ditandai menurunnya hormon syahwatnya tersebut yang membuat aliran darah ke berbagai titik sensitif berkurang, yakni hilang sensitive kemaluannya, sehingga kepekaannya terhadap lingkungan juga menurun.
  • Anggapan “orgasme” pada pengurus sepakbola yang tidak sah adalah tabu
Nilai-nilai negatif tentang syahwat untuk berkuasa bisa jadi tertanam sejak kecil sehingga tanpa sadar mempengaruhi cara mereka untuk merespons situasi dengan sangat erotis dan vulgar. Misalnya menjauhi hal-hal informasi berbau kebenaran, hanya untuk menghindari kesan sebagai pemuas syahwat, lalu justru mengalami hal yang dinamakan “kegatalan”, sehingga berusaha sedemikian rupa untuk tegar dan memelintir berita, ini sungguh sangat sulit, tapi mereka menikmatinya.
  • Tidak nyaman dengan rekonsiliasi
Sungguh, hingga saat ini mereka sangat sulit untuk merasa lepas dari sifat “keperkasaannya”, sehingga syahwatnya tidak bisa mentoleransi keintiman dalam situasi yang sudah menghasilkan kesepakatan seperti ini, misalnya terlalu pemalu. Bisa juga karena punya trauma yang menyakitkan di masa lalu, misalnya pernah mengalami pelecehan karena segala kelakuannya tidak pernah ditanggapi.
  • Menyimpan amarah dan kebencian
Berbagai permasalahan di luar lingkup sepakbola yang sah seringkali muncul dan sangat mempengaruhi kehidupan syahwatnya. Meski berusaha untuk tetap berhubungan dengan personil pengurus sepakbola yang sah, beberapa pengurus sepakbola tidak sah ini cenderung menahan diri untuk tidak terlalu menikmati karena diam-diam sedang marah dan memendam kebencian
Pada akhirnya, meraka gagal lagi orgasme.

Kamis, 27 September 2012

Sebut Saja PSSI atau Indonesia, Bukan Timnas!

13477650751115844657

Apalah arti sebuah nama, kata pepatah lama. Tapi tidaklah demikian kenyataannya karena banyak juga bukti dan kenyataan orang berlomba-lomba memberikan nama yang terindah, nama khusus yang sarat makna dan bermuatan harapan psikologis misalnya terhadap  sebuah badan usaha, nama jalan, nama jembatan, nama kota, nama tempat wisata bahkan nama orang sekalipun.
Demikian juga halnya dengan sebutan PSSI sebuah singkatan (akronim) organisasi sepak bola di tanah air. Meskipun perseteruannya dengan KPSI dengan bibit masalah antara ISL dan LPI serta sederet nama yang tergabung dalam geng masing-masing, kita TIDAK membicarakan hal tersebut. Yang menjadi sorotan dalam tulisan ini nama PSSI yang telah ada sejak Indonesia belum merdeka sekalipun dan setelah merdeka hingga mampu bertahan dalam kancah sepak bola asia bahkan dunia sebelum memudar dalam dua dekade terakhir.
Tak perlu juga menarik benang merah sejarah masa lalu tentang bagaimana proses terciptanya organisasi PSSI di Yogyakarta pada 19 April 1930 karena akan terlalu panjang ulasannya. Juga terlalu panjang jika mengingat kompetisi pertama PSSI dilaksanakan setelah kngres PSSI di Solo.
Intinya, sebutan PSSI merupakan representasi organisasi sepakbola Indonesia telah resmi dipakai untuk menyebutkan nama organisasi  dan tim nasional sepakbola sejak dulu kala.
Sama seperti di sejumlah negara lainnya juga mempunyai organisasi yang memayungi cabang sepakbola resmi milik negara, misalnya sebagai berikut :
  1. Organisasi yang memayungi sepak bola di Malaysia disebut dengan Persatuan Bolasepak Malaysia (PBM) atau Asosiasi sepak bola Malaysia atau Football Association of Malaysia (FAM). Mau pakai PBM atau FAM sama saja, intinya representasi organisasi yang mempunyai sarat makana. Julukan : Harimau Malaya Pak Belang.

  2. Di Australia disebut dengan Persatuan Sepakbola Australia atau Football Federation Australia (FFA). Julukan Socceroos.

  3. Di Singapore disebut dengan Asosiasi Sepak bola Singapora atau Football Association Singapore. Julukan ; Lions

  4. Di RRC disebut dengan Chinese Football Association atau CFA. Dalam bahasa China ditulis “中国足球协会“. Julukan Naga atau Tembok China.

  5. Di Korea Selatan disebut dengan Asosiasi sepakbola Korea atau Korea Football Association (KFA). Julukan : Macan Asia.

  6. Di Mexico disebut dengan Federasi Sepakbola Mexico atau Federación Mexicana de Fútbol Asociación FEMEXFUT. Julukan tim : Los Tricolores, El Tri.

  7. Di Brazil, badan pengendali sepakbola negara tersebut adalah Confederação Brasileira de Futebol atau  CBF yang dibentuk pada 20 Agustus 1914, sebelum Indonesia membentuk PSSI. Julukannya paling banyak, antara lain adalah :
  • Tim Samba

  • Canarinha (Little Canary)

  • A Seleção (The Selection)

  • Verde-Amarela (Green and Yellow)

  • Samba Boys
Sejumlah negara lainnya menyebutkan nama organisasi dan julukan timnya sangat jelas dengan sebutan yang singkat, padat tapi sarat makna penuh harapan dan terbukti menjadi nyata. Beberapa negara lainnya memiliki julukan tim nasional yang sederhana tapi sarat makna juga, misalnya :
  • Afrika Selatan : Julukannya adalah Bafana Bafana (The Boys) — Banyana Banyana (The Girls) untuk tim putri.

  • Prancis : Julukannya adalah Les Bleus atau The Blues atau L’Équipe Tricolore (The Tri-color Team).

  • Yunani : Julukannya adalah To Piratiko. Julukannya adalah The Pirate Ship atau Ethniki (The Team)

  • Inggris : Julukannya adalah The Three Lions

  • Jerman : Julukannya adalah Die Mannschaft (The Team), Die DFB-Elf (The DFB-Eleven). Favorite julukannya adalah Der Panzer.

  • Belanda : Julukannya adalah Oranje atau The Flying Dutchmen, Clockwork Orange, Het Nederlands Elftal (The Dutch Eleven).

  • Spanyol : Julukannya adalah La Furia (The Fury) atau La Furia Española (The Spanish Fury), La Furia Roja (The Red Fury)
Timnas atau Tim Nas (Tim Nasional).
Lalu bagaimana dengan organisasi sepakbola kita yang sebelumnya memberi nama tim kesayangan kita dari awalnya disebut PSSI lama-lama berubah sebutan menjadi Timnas?
Meskipun kita semua tahu bahwa itu bukanlah turunan dari sejenis buah-buahan Nenas atau saduaranya Anas, itu adalah singkatan “Tim Nasional” dengan sederet jenjangnya dari usia (U)15, U17,U19, U21 hingga Timnas U23. Rasa-rasanya nama ini sangat tidak nyaman kedengarannya dan tidak memiliki makna psikologis bahkan tidak mempunyai makna sama sekali.
Mengapa kita malas menyebutkan dengan sebutan “Tim Indonesia” atau “Indonesia” atau sebut saja PSSI seperti sebutan untuk tim nasional kita dua dekade sebelumnya. Mengapa kita suka memberi nama yang aneh-aneh hingga sedikit tidaknya mengurangi makna psikologis dan tujuan yang ingin dicapai dari sebutan yang indah dan sarat makna?
Pantaskah sepakbola kita carut marut mulai dari organisasi hingga prestasi hanya karena soal pemberian nama yang aneh bin ajaib tersebut? Tentu bukanlah itu penyebabnya semata, melainkan banyak faktor teknis dan nonteknis lainnya.
Faktor teknis tak dapat disebutkan satu persatu, misalnya adalah pola pembinaan dan pemilihan pemain. Sedangkan faktor teknis paling utama adalah adanya campur tangan pemerintah secara nyata dan langsung menetapkan organisasi dan susunan pengurusnya lengkap dengan segudang faktor teknis dibagian masing-masing.
Pemerintah jangan membiarkan organisasi tersebut cakar-cakaran atau dicakar-cakar. Tidak memberikan kebebasan tanpa batas dalam organisasi yang seharusnya bertanggung jawab mengharumkan negara dan bangsa dari cabang sepakbola. Pengurus boleh saja datang dan pergi silih berganti, tapi nama, simbol dan makna psikologis di dalamnya jangan pernah luntur atau hilang.
Lagu supporter
Lihat juga selera sebagian pendukung kesebelasan nasional kita dari sebuah lagu pembangkit semangat yang sangat merusak gendang telinga saat mendengarnya karena tidak jelas jenis musik apa yang dimainkan apalagi lirik lagunya yang bombastis bak bom atom yang pernah meledakkan Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945.
Lihatlah juga lagu-lagu supporter tim nasional sejumlah negara atau lagu supporter Inggris”Lightin Seeds - Three Lions,” yang berisi kekecewaan dan harapan terhadap tim nasional Inggris.
Bandingkan juga  lagu supprter  Brazil, “Vengaboys.” Benar-benar jelas alur nada dan liriknya penuh kebanggaan dalam bahasa yang indah dan hentakan yang memancing orang mendengarnya untuk bergerak riang gembira.
Dengarkan juga lagu supporter kesebelasan nasional Yunani. “Olympiakos” yang mirip nada lagu Iwak Peyek yang dinyanyikan Trio Macan dan lagu supporter Bonek mania.
Rasakan perbedaan sentuhan nada melalui lirik lagu-lagu supporter di sejumlah negara yang menyentuh kalbu hingga membangkitkan syahwat karena menyuntik adrenalin perangsang semangat untuk pemain sepakbola nasional mereka.
Kesimpulan
Berdasarkan sejumlah gambaran di atas, pantaskah negara dan bangsa yang besar ini mengalami degradasi dalam kancah sepakbola nasional apalagi dunia?
Siapa yang mampu menyelematkan organisasi PSSI dan Tim Nasional PSSI agar mampu kembali berjaya seperti dahulu? Siapapun yang mengurusinya nanti kita berharap harus segera berbenah, minimal benahi dahulu dari sisi penulisan nama tim, kembalikan saja pada sebutan tim PSSI atau sebut saja tim Indonesia, atau Indonesia saja. Bukan Tim Nas, Nenas apalagi “Ngenas,” nanti dikira punya Anas atau Nazaruddin lagi..hehehehehe..

Kejujuran Memang Menyakitkan, Tetapi Kebohongan Lebih Menyakitkan (saat diketahui orang lain)

Dalam menyikapi kemelut ~jika boleh dikatakan sebagai kemelut~ sepakbola Indonesia, masyarakat telah disuguhi sesuatu hal yang menjadi sifat dasar manusia, yakni kejujuran dan kebohongan, dan ironisnya, masing-masing selalu mempunyai pengikut.

Dan tulisan ini, penulis sajikan kepada warga kanal bola Kompasiana dalam rangka saling mengingatkan.
Memang, kejujuran dan kebohongan bagaikan dua sisi mata uang, bukan sesuatu yang berdiri sendiri, dan sangat berkaitan dengan keadaan sebeluma dan selalu membawa implikasi setelahnya, kedua potensi ini selalu bertarung dalam diri manusia, hingga salah satu menjadi pemenangnya.

Maka, jika kita ditanya tentang karakter seseorang yang layak dijadikan teman, atau seseorang untuk dijadikan pemimpin maka hampir dapat dipastikan kriteria jujur sebagai salah satunya, bahkan mungkin kriteria ini menjadi yang paling utama di antara kriteria-kriteria lainnya.

Alasannya sangat sederhana, yakni tentu semua tidak mau mempunyai teman yang tidak jujur atau pemimpin yang tidak jujur dan pembohong.
Lalu, apakah yang diperdebatkan dalam kanal bola Kompasiana selama ini murni hanya masalah kejujuran dan kebohongan ?
Sebagian besar benar adanya, namun sebagiannya lagi hanya membabi buta.

Jika seluruh warga kanal bola Kompasiana sadar, sebenarnya tak ada harapan besar yang bisa disandarkan kepada mereka-mereka yang pembohong, yang tidak jujur, karena implikasinya (kebohongan dan ketidak jujuran) juga berbeda-beda.

Dari kepengurusan PSSI yang sah, hingga yang tidak sah ataupun dari media yang memberitakan apa adanya atau yang pandai menyajikannya sedemikian rupa., bahkan terhadap warga kanal bola Kompasiana yang berusaha memberikan komentar dan artikel yang mendudukkan permasalahan hingga yang menanggapi dengan membabi buta.

Perlu diingat, bahwa jika berbohong pada sesuatu yang bersifat informasi, maka implikasinya bisa menyesatkan atau mencelakakan orang lain atau timbul fitnah. Atau jika bohongnya pada janji, maka implikasinya pada mengecewakan atau merugikan orang lain dan cenderung khianat.
Kebohongan memang tampaknya seperti sesuatu yang remeh, terutama apabila kebohongan itu hanya berkaitan dengan masalah-masalah sepele.

Namun, dalam satu kebohongan yang dilakukannya, sebenarnya mereka sedang membohongi diri sendiri, orang lain, dan yang lebih mengerikan lagi mereka membohongi Tuhannya.
Kejujuran seringkali menyakitkan, tetapi kebohongan lebih menyakitkan saat diketahui

Ada Legenda Ramang, di Cover Depan Website FIFA

1348658029919100513 

















Agak surprise rasanya ketika saya menyempatkan diri menjenguk website FIFA, karena muncul kata-kata Ramang yang menginspirasi orang Indonesia di tahun 1950an dan menjadi cover depan website tersebut.
Ramang rupanya mendapatkan penghargaan khusus dari FIFA, serta mencatat karirnya  sebagai pemain sepakbola paling berbakat dari Indonesia saat itu. Karir puncaknya adalah saat menahan imbang UniSovyet pada olympiade tahun 1956 di Melbourne dengan skor dipertandingan pertama 0-0 kemudian akhirnya kalah pada pertandingan kedua dengan skor 4-0. UniSovyet sendiri akhirnya menjadi meraih gelar juara setelah mengalahkan Yugoslavia dengan skor 1-0.

Setelah gemilang dalam meniti karir sebagai atlit, Ramang meniti karir menjadi Pelatih Sepakbola. Ilmu kepelatihannya diperoleh melalui pengalaman pribadi selama dilatih oleh pelatih timnas Tony Pogacknic. Tetapi sayang karir kepelatihannya perlahan redup karena dia tidak memiliki ijazah kepelatihan.

Ramang meninggal dunia di usia 59 tahun pada tanggal 26 September 1987, tepat 25 tahun yang lalu setelah menderita sakit paru-paru basah. Selama 6 tahun Ramang menderita kanker paru-paru basah tanpa mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai  karena kekurangan biaya. Dan pada hari ini, FIFA mengenang seorang Ramang dengan memasang foto aksinya dihalaman depan website FIFA.

http://en.wikipedia.org/wiki/Football_at_the_1956_Summer_Olympics

Cattenacio ala Djohar (Tulisan Bagian #5 - Terakhir)

Djohar-lovers tinggal menguasai bola selama mungkin, bermain possesion yang menjemukan, plus jangan mudah kehilangan bola&selalu cepat mengambil alih kendali pertandingan dengan merebut bola melalui pressing2 ketat penuh presisi, jika permainan dikuasai lawan. Dengan selalu menguasai bola, ritme pertandingan akan lebih mudah ditentukan. Akan tiba2 berganti ke pola sistem serangan kejut yang mematikkan lewat 2 winger andalan/terus menunggu lawan keluar&memancing emosi dengan possesion yang membosankan. Saya yakin, 5 penguasa lini tengah Djohar-lovers saat ini punya kualitas untuk itu.

Sementara itu untuk lini depan, menurut saya, sang penyerang utama harus sedikit “mengalah”, turun kebawah, bermain free-role, sambil membiarkan para winger&gelandang tengah membuat “tusukan mematikan” dijantung pertahanan lawan. Ia juga harus rela dijadikan “sansak hidup” para pemain lawan. Dengan sedikit cerdik, emosi tinggi Djohar-haters yang berujung kekasar2an tak terhingga pada sang penyerang, akan membuat mereka lebih rentan terkena hujan kartu kuning&/kartu merah. &ingat, 1 pemain saja diusir sang pengadil keluar lapangan, akan menciptakan celah yang bisa dimanfaatkan Djohar-lovers untuk meraih kemenangan.

Opsi lainnya adalah memasukkan seorang attacking midfielder sebagai substitusi bagi sang striker, yang bermain bebas berkreasi dimana saja, yang tentunya akan lebih mendongkolkan lawan yang sudah frustasi susahnya membuat gol. yang terpenting menurut saya : Djohar-lovers tak butuh penyerang hebat mematikan layaknya Vieri/Gilardino/Toni/Pazzini. Mereka cuma butuh seorang pemain yang pintar membaca situasi&cerdas memanfaatkan peluang serta oh ya…jangan lupa : ikhlas dijadikan “sansak hidup” Djohar-haters,he3.

Tapi yang perlu diingat, bermain dengan pola Cattenacio memiliki konsekuensi yang lain. pemain harus extra-bugar&extra-konsentrasi. Stamina yang menurun akibat kelelahan fisik akan menyebabkan penurunan konsentrasi serta peningkatan emosi. &ini akan menjadi santapan empuk Djohar-haters yang terkenal penuh akal bulus&selalu siap menerkam kapanpun. Pilihan bermain possesion yang lambat&mengesalkan seperti Djohar-lovers tunjukkan selama ini, mungkin telah efektif &sedikit mampu memperpanjang napas mereka dipertandingan ini. Gaya “laidback namun konstitusional” yang mereka tujukkan sedikit banyak telah membuat “hakim garis” dari AFC&FIFA bersimpati pada mereka. Terbukti hasil sidang JC di Kuala Lumpur kemarin meniupkan angin segar&”isotonik” tambahan tuk mereka lebih tenang berkreasi positif dipertandingan ini. Djohar-lovers sekarang tinggal menanti respon dari “sang pengadil utama”, supporter sejati Timnas Indonesia, &inilah yang paling penting&utama.

Bagi saya, pertandingan ini bisa berakhir lebih cepat, bisa juga melalui extra-time/pun adu pinalti, tergantung seberapa kuat kedua kubu mampu bertahan dengan strategi yang “mumpuni”&”stamina” yang terjaga karena “asupan gizi” yang cukup. Menilik apa yang dilakukan Timnas Italia, segala sampah kritikan&caci maki itu bisa dibersihkan dengan 1 kata : PRETASI! Inilah yang amat dirindukan seluruh supporter sejati Timnas Indonesia! &semalam(26-09-2012) “Garuda2 Gagah Berani” yang kerap diremehkan&dicap sebagai “pemain tarkam” itu menunjukkan bahwa mereka masih punya “sesuatu”&tidak pantas direndahkan, dengan melumat Brunei 5-0, di Bandar Seri Begawan! Sebual awal yang baik menurut saya(..amin..).
Bagi saya, untuk waktu dekat ini, bermain baik saja&menjuarai Piala AFF dengan “pemain seadanya”(..amin..amin..amin..ya..rabbal..alamin..) akan mengubur segala cibir, menepis segala nista, &membukakan mata semua orang. Bau anyir yang biasa menerpa akan berubah arah&berganti hembusan sejuk menyegarkan. Kemudian biarkan saja supporter sejati Timnas indonesia sendiri yang akan menilai mana yang benar2 memiliki niat suci membangun sepakbola negeri ini&mana yang cuma jadi benalu dunia sepakbola kita! Lalu sang pengadil utama ini yang akan memberi hukuman setimpal : menyingkirkan kotoran dunia sepakbola Indonesia ini ket4 yang seharusnya : TEMPAT SAMPAH!

Dengan strategi yang baik plus dukungan senjata baru hasil pertemuan JC di Kuala Lumpur, seharusnya Djohar-Lovers akan bisa terus tegak berdiri&menyelesaikan ini dalam waktu normal. namun hal ini janganlah membuatnya jadi berpongah diri, sebab bahaya senatiasa mengintai. Kumpulan singa tua licik lapar dengan mulut menganga penuh liur nafsu berkuasa&taring tajam. Salah langkah sedikit saja bisa membuat segala “mimpi manis” berubah menjadi “mimpi buruk”. &yang perlu Djohar-lovers ingat, hitungan nyawa mereka dipertandingan ini adalah detik demi detik, bisa saja sampai 2015 sesuai waktu normal pertandingan, bisa juga berakhir di Kongres Akhir tahun 2012, &/pula berakhir lebih cepat karena gagal “tampil baik” di AFF Cup. Wallahualam bi sawab. mari semua kita tunggu, perhatikan, pelajari, kritisi, &nikmati saja pertandingan ini……(Selesai)
 
***Mohon maaf, saya bukanlah simpatisan Djohar-haters/pun Djohar-lovers. Bukan juga “ghost writer bayaran” tuk mengaburkan masalah&membentuk opini. saya rakyat jelata yang kesal atas semua kekisruhan ini. Kesal atas pihak yang kalah tapi ga mau legawa. Kesal atas pihak yang cuma “numpang hidup” dari PSSI. Kesal dengan para bandot tua tak tahu malu, bermuka badak, kutu loncat oppotunis sejati yang cuma memperhatikan perutnya sendiri! Semua cerita diatas cuma sekadar “khiasan” yang menggambarkan kondisi dunia persepakbolaan Indonesia saat ini di otak saya.
“Salam Damai dari FANS SEPAK BOLA INDONESIA”

Cattenacio ala Djohar (Tulisan Bagian #4)

Saat ini mungkin Djohar-lovers&tim pelatihny harus memutar otak, mencari shortcut tuk mendapatkan solusi jitu penyelesaian masalah. Timnya mungkin saja memakai pola “false number 9″ yang kembali dipopulerkan Spanyol di Euro 2012, mengingat ketiadaan stock penyerang hebat di bench mereka sekarang. Pola ini bisa saja tepat mengingat nama2 “gelandang pengatur serangan yang cukup disegani” menghuni barisan cadangan mereka, mulai dari Ferry Kodrat, Roso Daras, Koesnaini, hingga Kesit Handoyo. Mereka2 ini bisa dijadikan “kartu truf” untuk membalik keadaan&membuat skuat Djohar-lovers “seperti hidup kembali”. Sebab tendangan  maupun tandukan dari “second line” sering lebih memiliki daya bunuh tinggi, karena kerap tak diperhitungkan&tak dijaga pemain lawan. Djohar-haters yang penuh dengan pemain tua namun kaya trik ini, bisa saja tidak mengantisipasi taktik ini. &ingat, titik kuat Djohar-lovers selama ini justru karena kolaborasi apik lini belakang&tengahnya dalam menghalau gempuran negatif lawan, bukan karena striker mematikan mereka. Mencari seorang striker “pembunuh”, bukanlah hal yang mudah, mengingat saat ini “pertandingan sedang berlangsung” bukan sedang “musim tranfer’. Bagaimanapun, solusi cepat&tepat harus segera ditemukan agar kendali permainan berpindah&kemenangan jadi milik Djohar-lovers.

Solusi itu harus ditemukan dari stock pemain dibench mereka sendiri. Mencari sosok striker yang lengkap perpaduan antara Balotelli yang ngeyel-Totti yang penuh trik-Del Piero yang berteknik tinggi-Inzaghi yang jeli mematahkan offside-Baggio yang pendai memanfaatkan ruang-sampai yang sekelas Rossi yang mematikan, bukanlah hal yang mudah mengingat sempitnya waktu&keterbatasan pilihan dibangku cadangan. Mengoptimalkan dengan jeli keadaan yang ada serta membalikannya sebagai sebuah senjata untuk meraih kemenangan adalah hal yang paling utama, &saya pikir duo pelatih papan atas AP> tahu bangetz tentang itu. AP> tinggal memilih, tetap saja membiarkan Wijayanto “berkeliaran tak tentu arah”&terus dijadikan sasaran empuk tackling lawan/menggatikannya dengan pemain lain sekelas Koesnaini/Kesit.

Penerawangan saya : mungkin saja taknik Cattenacio yang disempurnakan yang akan digunakan. Perpaduan anatara Cattenacio&false number 9. Tim Djohar-lovers mengerti benar di fase knock-out round seperti ini, kesalahan sekecil apapun harus diminimalisir/dihilangkan sama sekali jika tidak ingin berujung fatal. Bagi mereka, detik demi detik waktu pertandingan kini sangatlah berharga. Bagi mereka, walau sekarang pertandingan masih berjalan diwaktu normal, namun dibenak Djohar-lovers tiap menit saat ini adalah injury time bagi mereka. Kesalahan ucapan&gestur tubuh maupun tindakan bisa menjadikan hukuman. Raja2 trik dikubu Djohar-hates, seperti biasa pasti selalu ingin merangsek maju, masuk kotak 12pas, lalu melakukan “diving yang sempurna” untuk mendapatkan penalti kemenangan. &Djohar-lovers harus mengantisipasi “tindakan nakal” mereka itu. Pola pertahanan grendel yang menggabungkan zona marking+man2man marking+offside trap, diiringi pressing2 ketat, akan diterapkan dengan seksama dalam tempo yang sesingkat2nya oleh kuartet lini belakang Djohar-lovers, sedikit lengah saja maka “maut sudah membayang didepan mata”.

Dilini tengah, menempatkan 3 pemain dalam posisi sejajar, akan membuat “dapur permainan” ini menjadi riskan&mudah dikuasai lawan. Hal ini mengingat type gelandang sang lawan, Djohar-haters, semuanya adalah tipikal gelandang “tukang jual obat dipasar malam”. Layaknya penjual obat dipasar malam, mereka hobbynya bermulut manis mengobral janji, berkoar2 menjelekkan yang lain, tanpa ada bukti yang konkrit. Kerap mereka bermain tanpa visi&asal omong saja, melempar polemik ke publik, membungkusnya dengan pencitraan berlebih, terus didukung Tim Hore&Cheerleader alay yang lebay. Tim Hore&Cheerleader mata duitan inilah yang membuat mereka terus menjadi headliners dimana2, walau harus menjual cerita palsu kehebatan mereka, kebohongan, fitnah, bualan&apapun yang akan dilakukan, maklum mereka menangguk untung&memperpanjang hidup dari memutarbalikkan fakta kondisi ini.

Bila jeli, Djohar-lovers bisa menarik 1 dari 3 gelandang tersebut sebagai deep palymaker, jembatan pertahanan dengan lini tengah sekaligus otak permainan. 1 gelandang akan ditempatkan sebagai ranjau perusak dilini tengah. Sementara 1 gelandang sisa akan bermain bebas, menjadi penghubung lini tengah&depan. hal ini akan menyebabkan kebingungan dikubu lawan, mengingat semua gelandang memiliki fungsi vital masing2. Disamping itu, gelandang2 Djohar-haters terkenal mudah capek, cepat lelah&bertemperamen tinggi.

Cattenacio ala Djohar (Tulisan Bagian #3)

Pilihan pola main yang membingungkan jika melirik latar belakangnya dulu saat diawal2 memegang kendali PSSI. Dimana ia cukup baik bermain tiki-taka ala Barcelona dengan melontarkan opini cerdas/bermain efektif&efisien ala mesin diesel Jerman saat “membersihkan” PSSI dari Djohar-haters. Pilihan Cattenacio ala Djohar, membuatnya harus keluar dari pakemnya sebagai orang yang berlatarbelakang kehidupan Batak, yang biasanya, maaf, bersuara keras, tegas&memiliki gaya main rap2. Ia tetap bergeming walau diserang kiri-kanan. Ia juga tetap berterimakasih walau penonton yang datang menyaksikan laga Timnas dapat dihitung dengan jari. Prof.Djohar versi 2012 ini yang hingga sekarang tetap tegak berdiri, menahan gempuran dengan bertahan total ala Cattenacio. Ia mungkin paham benar, se-offensive apapun lawan pasti jenuh juga jika tidak berhasil membobol gawang&menciptakan gol kemenangan. Ia juga mungkin tahu, seberapa brutal “tackling keras” Djohar-haters padanya pasti akan membuahkan peringatan, kartu kuning/bahkan kartu merah dari pengadil dilapangan. &pengadil dilapangan itu baginya bukanlah wasit dilapangan, yang dalam pertandingan PSSIvsKPSI ini seharusnya adalah Menpora&KONI. Pengadil sebenarnya adalah supporter sejati Timnas PSSI diluar sana. Yang tetap setia pada Timnas apapun kondisinya, bukan “generasi wangi2″ yang cuma datang ke stadion saat Timnas menang, hanya numpang nongkrong/yang hanya pengen exist sambil membawa2 infotaiment. Ia sadar sikap adil Menpora susah diharapkan menyusul berbagai “kasus miring” yang menimpa Kemenpora. Ia sadar juga sikap fair play KONI pun sebaiknya tidak usah ditunggu menyusul perselingkuhan KONI&KPSI, yang mementahkan semua keputusan&mengusir PSSI di PON 2012 Riau, sekaligus mengacaubalaukan penyelenggaraan pertandingan sepakbola di PON tersebut, yang mungkin merupakan penyelenggaraan PON paling berantakan sepanjang sejarah, &harusnya jajaran KONI MALU DENGAN ITU! Djohar-lovers sekarang tinggal menanti keajaiban, datangnya kembali supporter sejati Timnas yang gerah dengan segala kesemberonoan KPSI untuk memberikan Kartu Merah pada Djohar-haters, lalu kemudian mengusirnya dari lapangan sepakbola Indonesia, seperti euforia yang terjadi saat menjatuhkan rezim Nurdin Halid terdahulu.

Ibaratnya dalam pertandingan reguler Timnas, saya yakin saat ini Physioterapist Timnas, Mathias Ibo, sudah bolak-balik masuk lapangan untuk merawat Djohar-lovers. Gempuran desas-desus, berita miring, maupun kesalahan sudah mengoyak terlalu dalam. “Tackling2 keras” berbau komentar negatif terhadap kinerja Djohar sudah terlalu sering. Jadi mungkin saja dikalangan Djohar-lovers banjir cedera sudah menanti. Semoga saja cuma cedera ringan, yang bisa sembuh dengan semprotan pain killer semata, bukan cedera berat yang mengharuskan pemain meninggalkan lapangan, naik ke meja operasi, &menjalani perawatan panjang. Seperti “cedera” yang dialami Sekjen PSSI, Tri Gustoro, dimenit2 awal, yang memaksanya harus keluar gelanggang, he3.

Memperhatikan line-up pemain, sebenarnya Djohar-lovers punya kans bertahan lebih lama dengan menggunakan Cattenacio. Tongkrongan lini pertahanannya tergolong cukup yahud. Lihat saja kiper berpengelaman Bob Hippy, ditopang 2 bek tengah kawakan : Bernard Limbong&Saleh Mukaddar plus 2 bek sayap : Catur Saptono dikanan plus Hadiandra dikiri. Ini merupakan komposisi gahar yang cukup untuk sekadar menghalau segala komentar buruk&serangan lawan. Lini tengah yang dikhawatirkan pincang sepeninggal Tri Gustoro ternyata mendapat metronom baru yang “cukup” punya pengalaman. Sosok Sekjen anyar PSSI, Halim Mahfudz, melengkapi formasi trio lini tengah, otak penggerak permainan, bersama Djohar&Farid Rahman, yang tenang tapi memiliki visi&pergerakan mematikan. Tridente centrocampista PSSI dilengakpi 2 winger handal dengan agresivitas tak terduga tapi memiliki “daya sengat tinggi” : Todung Mulya&Sihar Sitorus. Permasalahan pelik justru ditemukan dilini depan. Striker tunggal, Wijayanto, dedengkot LPIS, justru sering kebingungan jika bermain. Timing pengambilan keputusannya sering ga pas, serba salah, &gantung, yang tercermin dalam sikapnya saat menahkodai LPIS, hal yang sangat disesali para pemerhati sepakbola diluar sana. Ini yang mengkhawatirkan, mengingat bermain dengan pola Cattenacio membutuhkan ujung tombak cepat, lincah&mematikan, untuk memanfaatkan sedikit&kecilnya peluang menciptakan gol, mengingat gaya permainannya yang bertahan total.
 
Dahulu mungkin ada 2 striker muda, beda&berbahaya harapan utama Djohar-lovers untuk menetralisir sekaligus mematikan Djohar-haters. Arya Abhiseka&Llano Mahardika, duo striker muda itu, dahulu sangat sukses setelah “mengegolkan” LPI musim I menjadi “dilirik” khalayak&sponsor. Sayang saat ini mereka tak bisa turun gelanggang karena “skorsing” akibat dari kasus penyalahgunaan dana organisasi pemain oleh Arya, &transfer ilegal Tibo yang memalukan yang “diotaki” Llano. Ketidakhadiran mereka membuat barisan pertahanan Djohar-haters, yang sebagian besar diisi pemain tua, namun licik&kaya pengalaman, sedikit bernapas lega. Setidaknya mereka tidak akan sering beradu sprint dengan 2 anak muda itu, yang mungkin saja bisa menyebabkan mereka ngos2an-bengek-kehabisan napas-butuh bantuan napas buatan-&atau bahkan yang terburuk : tiba2 kolaps dilapangan,he3….

Cattenacio ala Djohar (Tulisan Bagian #2)

Tertawa mereka semakin lebar saat berhasil “mengegolkan” proyek berputarnya kembali “liga lama” LSI, yang katanya dibumbui citarasa baru : “bebas mafia&trik” (walau pada pelaksanaan dilapangan tetap sama saja penuh intik kotor, he3). Liga ini berhasil berjalan karena sikap mendua dan mau main amannya beberapa otoritas berkuasa ditanah air.

“Ketinggalan skor” membuat Djohar berpikir sejenak. Gaya main baru harus segera ditemukan menyusul buntunya tiki-taka. Otak-atik strategi pun dilakukan. ia pun tersadar, ia masih punya senjata sakti, surat pengangkatannya sebagai Ketum PSSI yang SYAH sekaligus mandat dari seluruh stakeholder persepakbolaan Indonesia padanya. Strategi “mesil diesel ala Timnas Jerman” pun dipilihnya. Pola yang mengutamakan keseimbangan antar lini menjadi acuan. Pertahanan diperkokoh plus menyerang secara efektif. Dengan modalnya sebagai Ketum PSSI yang SYAH, konsolidasi pun mulai diperkuat untuk memperkuat lini belakang. Anggota Exco dan Pengda yang “mbalelo” diganti dengan para loyalis/yang mampu bekerja sama dengan Djohar-lovers. Klub yang “menantang” pun dicabut dari liga “resmi” berikut berbagai preveledge-nya. Untuk sementara skor imbang lagi.

Tapi Djohar-haters tsk ingin kehilangan moment. mereka tak mau dengan mudah menyerah terhadap pola baru Djohar. “Sudah kepalang tanggung” pikir otak mereka. “Sudah kecebur juga, ya udah nyelam sekalian”,he3. Pola lama mereka, total football, tidak diubah tapi dilakukan dengan lebih spartan lagi, maklum mereka juga dapat suntikan “suplemen khusus dosis tak terhingga” dari koorporasi besar tukang hutang yang merasa “ladang uang”nya didunia sepakbola Indonesia “dikepras” Djohar-lovers. Serangan membabi buta pun dilakukan dengan mengangkat berbagai kekurangan Djohar&segala produknya. Segala keburukan Djohar, segala tindak-tanduknya yang selalu dipersalahkan, jadi bulan2an dimedia, terutama ya itu tadi:2 TV bersaudara, 1 situs internet generik dengan merk global, plus media cetak yang entah sudah “kemasukan angin” sehingga menilai kelakuan Djohar ga ada benarnya. tak cuma itu saja, Djohar-haterspun menjalankan “teknik main kuda kayu” yang sangat kasar khas tim2 Afrika tempo doeloe.

Permainan kuda kayu yang kasar&penuh intrik ini memuncak pada yang yang mereka sebut “KLB Ancol” dengan produk jualan bernama KPSI, organisasi tandingan PSSI. La Salah, ups maaf salah sebut, La Nyalla maksudnya, yang awalnya pendukung Djohar yang kemudian “berpaling” dari Exco PSSI, terpilih sebagai ketum KPSI. Serangan terhadap Djohar pun dilakukan semakin total dengan melakukan kebodohan dan kebebalan tak terhingga. Kebodohan&kebebalan yang tak terhingga? Ya benar, kebodohan&kebebalan yang tak terhingga menurut saya. Kebodohan utamanya adalah berkoar2 di media yang “beriman” pada Djohar-haters, bahwa KPSI telah diakui Menpora, AFC&FIFA. Hikz3, saya sedih mendengarnya. Diakui Menpora? Bagi saya, sikap diamnya Menpora menghadapi KPSI, hanya karena ia juga lagi puyengdengan mega-skandal korupsi Hambalang yang membawa2 namanya. Trus diakui AFC&FIFA? Aduh biyung, please ngaca deh, mana ada sampai detik ini Surat dari AFC&FIFA tentang segala keputusan/jalannya organisasinya ditujukan pada KPSI? Mana ada pula KPSI diundang menghadiri kegiatan resmi AFC&FIFA? Coba pikir deh…orang awam sekalipun akan paham trik bodoh seolah2 pintar dari KPSI ini.
Kemudian kebebalan luar biasanya adalah membentuk Timnas tandingan dengan embel2 “The Real Timnas”. Inilah kebebalan tak berujung menurut saya. Bebal karena dengan sengaja, ini jelas langkah utama untuk mematikan PSSI secara perlahan2, maklum Timnas-lah sebenarnya ujung tombak PSSI untuk mengharumkan nama bangsa dimata dunia. &kini, orang2 pintar yang katanya punya nasionalisme tinggi&kecintaan luar biasa pada kemajuan sepakbola Indonesia itu, melakukan langkah mundur dengan mempreteli Timnas. Bagi Djohar-haters, tidak cukup bagi mereka dengan cuma mengakuisisi Rahmad Darmawan(mungkin salah satu pelatih terbaik Indonesia sekarang) dari Timnas untuk melatih tim “toserba(toko serba ada)”, kaya raya, namun miskin pretasi, tapi biar khatam sekaligus juga merusak&menghancurkan Timnas dengan cara apapun. ¶ pemain yang katanya berlabel “bintang Timnas”, yang katanya memiliki nasionalisme tinggi itu pun bagai kerbau dicocok hidungnya ikutan juga mengamini perbuatan bejat KPSI dengan bergabung bersam “tim burung perkutut” dengan dalih profesionalisme dan menghormati kontrak dengan klub. Bagi saya, mengkudeta Timna PSSI yang SYAH adalah sebuah KESALAHAN, DOSA&bahkan pengkhianatan, apapun itu alasan yang melatarbelakanginya. Bagi saya, perbuatan KPSI ini jauh lebih “sampah” dari apa yang diperbuat oleh kelompok LPI&sebagian besar Djohar-lovers, saat menggalang opini&memutar kompetisi “ilegal” LPI, sesaat sebelum jatuhnya rezim yang didukung sebagian pentolan KPSI&Djohar-haters saat ini. Perbuatan memutar kompetisi sendiri LPI, diluar jalur resmi yang digariskan PSSI kala itu, jelas salah. namun sekalipun mereka tidak pernah terdengar berteriak2 ingin membentuk organisasi sendiri diluar organisasi SYAH yang diakui pemerintah&dunia. Mereka juga tidak pernah terdengar berkoar2 ingin membentuk Timnas tandingan. Sementara Djohar-haters yang saat ini berjubah KPSI, berusaha memuluskan langkahnya menguasai organisasi dan memuaskan syahwatnya dengan melakukan 2 tabu tersebut : membentuk organisasi&Timnas “selingkuhan” diluar yang resmi. Sebuah perbuatan menjijikan sekaligus haram untuk ditiru! Djohar-haters yang pintar2&berpengelaman itu harusnya sadar, berbeda pendapat itu wajar, berbeda visi itu lumrah. Namun semuanya itu bukan jadi dasar membentuk organisasi&Timnas baru yang memecah-belah bangsa. Semua harus sadar PSSI ini bukanlah parpor, yang seandainya beda pendapat, lalu loncat ke partai lain; yang seandainya beda visi trus ketemu cukong berdana besar lalu membentuk partai baru. Ini organisasi yang dibentuk untuk mempersatukan segala perbedaan&sebagai alat pemersatu serta alat perjuangan melawan penjajah, bukan organisasi yang dibikin untuk “menumpang makan”, melanggengkan syahwat bisnis&kekuasaan yang korup! So please, sadar dehhhhh………..
 
Segala tipu daya, segala intrik, dari Djohar-haters, yang semakin mendekati klimax toh disikapi dengan strategi yang banyak dibenci:CATTENACIO! Bertahan total! Entah karena diserang habis2an dari segala penjuru. Entah pengen membangun simpati publik dengan membiarkan diri tertindas,&atau entah memang sudah kehabisan akal&daya upaya, yang pasti ia memilih:CATTENACIO!

Cattenacio ala Djohar (Tulisan Bagian #1)

Melihat sepak terjang Djohar Arifin Husein dalam mengelola PSSI saat ini membuat ingatan saya berputar kembali mengenang gaya permainan Italia yang legendaris : CATTENACIO. pola sepakbola ini, maaf kalau saya salah, bertumpu pada permainan kolektif dengan mengutamakan pertahanan(kalau tidak ingin dibilang bertahan total). Pola yang sangat dibenci lawan ini, beberapa kali membuahkan hasil terutama ketika mereka berhasil merengkuh Piala dunia 1982/2006. Walau segala caci maki&benci tertuang di berbagai media oleh musuh2nya, Italia tetap tersenyum, dengan bangga mengangkat tinggi2 trofi yang berhasil direngkuhnya. Banyak yang berkoar2 membenci, tapi banyak juga yang memuji, dan Italia membungkam kebencian dan membalas pujian dengan 1 kata : PRESTASI!

Djohar Arifin, sang Professor, mungkin saja terinspirasi gaya bermain Italia itu dalam mengelola organisasinya. Setahun lebih kepemimpinannya di PSSI, beberapa kali ia berganti “gaya main” dalam menjalankan “kesebelasan”nya ini. Diawal memegang kendali PSSI, Djohar dengan tangkas bermain tiki-taka ala Barcelona, dengan seringnya bermain 1-2 sentuhan melempar isu, opini, pendapat, maupun polemik ke publik. Ia cukup sukses untuk beberapa saat, setelah berhasil memenangkan hati masyarakat yang lebih banyak mendukungnya “membersihkan” PSSI dan menggelar liga tanpa APBD.

Para “pemain dari kesebelasan rezim lama” dan pihak yang kehilangan “ladang uang” dari perputaran kompetisi lalu tidak tinggal diam menyaksikan permainan Djohar. Disusunlah kontra strategi untuk menjatuhkan Djohar dengan gaya Total Football. Dengan gaya bermain ala Ajax dan timnas Belanda ini, para pembenci Djohar(biar gampangnya kita sebut aja Djohar-haters), berhasil memporak-porandakan tiki-taka ala Djohar. Djohar-haters sadar untuk mengalahkan strategi untuk mengalahkan Djohar harus dipakai teknik offensif pula, sebab bagaimanapun mereka berkepentingan dengan PSSI ini, semakin lama Djohar berkuasa, semakin rentan pula kehidupan mereka(yang kebanyakan cuma numpang”mencari sesuap nasi”) disana.

Dan Djohar yang keasyikan “bermain” tiki-taka sepertinya saat itu tidak siap dengan keadaan ini. Ia yang baru menjabat di PSSI, belum terlalu paham dengan gaya main para oknum orang2 lama dilingkup PSSI yang kadang culas, bermuka dua, suka bermain 2 kaki, bahkan rela mengorbankan apa saja demi tujuannya tercapai serta mengamankan “ladang” mereka. teknik total football dijalankan dengan masif oleh Djohar-haters di darat maupun udara. Kolaborasi permainan cepat “barisan sakit hati”, golongan yang tak “diakomodasi”, plus dukungan penuh 2 TV “bersaudara”, 1 situs internet “generik” merk global, dan beberapa koran serta tabloid olahraga terkemuka, ditambah asupan “obat kuat” berlebih dari sebuah konglomerasi besar, buat Djohar&pendukungnya(biar gampang kita sebut Djohar-lovers) kelimpungan. Permainan lini tengah&pertahanan Djohar-lovers kocar-kacir menahan gempuran bertubi2. jauh sebelum gempuran total, para Djohar-haters lebih dahulu mengirim “sinyal awal” dengan mengisolasi Arya Abhiseka, salah satu think thank utama Djohar-lovers, dengan kasus penyelewengan dana organisasi yang dipimpinnya. Kuncian terhadap Arya menimbulkan kegamangan. Buktinya sepeninggalannya, LPI berjalan “kurang gemerlap” dibanding musim sebelumnya. Setelah berhasil mengirimkan “sinyal awal” tersebut, Djohar-haters pun melancarkan gempuran terang2an.

Gempuran  mula2 dipicu penolakan klub2 LSI mengakomodir klub LPI yang berujung mundurnya beberapa anggota Exco dan enggannya “klub2 elit” LSI bergabung di”Liga baru” bentukan PSSI. tidak cukup itu saja, Djohar-haters juga meng-copy-paste politik “devide et impera”nya penjajah Belanda dengan melakukan berbagai aneksasi+pemecah-belahan terhadap sejumlah klub maupun Pengda. Hasilnya terbentuklah beberapa klub dan Pengda “kembar”. Djohar-haters tersenyum lebar menatap keberhasilan politik “kolonial”nya.

Sepak Bola: Orgasme Spiritual yang Sublime

Budi membaca sebuah novel filsafat tentang bola yang memabukan setelah sebelumnya ia membuka jendela kamar – kebetulan menghadap Stadion Siliwangi – sebuah Hotel di Jalan Aceh Bandung. Ia menyepakati ungkapan Camus yang tenar itu, ‘Dalam hal keutamaan dan tanggung jawab akan tugas, saya belajar dan berhutang budi pada sepak bola’. Pemahaman kritisnya mengapungkan sebuah kesimpulan: dalam hal nilai dan makna, sepakbola telah dikooprasi oleh komersialisasi dan hasrat politik.

Budi sangat menggemari sepakbola – yang juga ia mainkan ketika kecil sampai dengan remaja. Baginya sepakbola adalah sebuah permainan yang harus dimainkan dengan kebajikan dan semangat perikemanusiaan. Tanpa itu sepakbola tidak lebih sebagai wahana untuk menistakan sesame. Ia ingat ketika masa di sepulang sekolah menenteng bola ke lapangan dengan jarak 2 km dengan berjalan kaki. Seluruh enegergi ia habiskan untuk berlatih menghadapi pertandingan perayaan hari kemerdekaan.

Sepakbola yang dimainkan secara alamiah oleh anak-anak kampong adalah falsafah keceriaan. Ia mengalami pengalaman sensasional ketika mencetak gol dengan memelorotkan celana dan berlari kea rah kawan-kawannya – absurditas dimulai. Oleh sebuah gol dan kemenangan, Budi harus menerima memar di mata kanan karena pukulan diluar lapangan usai pertandingan. ‘Sepakbola memberikan pelajaran pada sebuah realitas masyarakat yang primitive,’ ujarnya ketika itu.

Budi tumbuh dari komunitas yang menggilai sepakbola sekaligus memahfumi kekerasan. Pemahaman lintas etnis dengan menjadi penggemar kritis Persib Bandung dengan Ajat Sudrajat dibanding PSIS Semarang – ia lahir dan tumbuh di sebuah kota kecil di Jawa Tengah – disadarkan pada kekerasan tidak mengenal etnisitas. Ia menerima intimidasi dari tetangga kampong hanya oleh sebuah gol penentu kemenangan. ‘Ternyata manusia telah membuat rumit hal yang sederhana’, pikirnya.

Lapangan sepakbola sebagai altar pembuktian ketrampilan pemain dalam posisi apapun kadang memberikan fungsi lain – yang tidak kalah factual. Acapkali lapangan juga berfungsi untuk menggembalakan kambing atau kerbau sehingga kotorannya membuat subur rumput yang ada. Pada malam purnama, BKKBN sering menggunakannya untuk memutar film silat dengan tujuan mengumpulkan orang untuk kampanye keluarga berencana – sebuah pilihan cerdas. Sementara tidak sedikit digunakan untuk panggung dangdut mendayu dengan judi putar di sudut-sudut rumah penduduk. Dan sepakbola ternyata mampu menyatukan berbagai kepentingan di lapangan yang sama.

Pada makna lain, sepakbola juga memberikan sebuah arti eksistensi. Budi – si pemain kampong – sangat bangga dengan jersey biru putih kebanggan desa tempatnya tumbuh. Imaginasinya melayang saat arak-arakan truk supporter mengiringi mini bus yang membawa team menuju pertandingan. Budi merasa sangat berharga dengan mewakili nama baik kampong dan pemuda yang tidak berkesempatan memakai jersey biru putih. Nyanyian kemenangan selalu menjadi memori indah dalam penggalan hidupnya. Sepakbola adalah sebuah pentasbihan eksistensi pemuda yang bangga akan akar leluhurnya – dan bukan semata rupiah yang didapat karenanya.

Pada satu halaman, Budi menemukan bagaimana Camus menyiasati larangan neneknya untuk bermain bola. Alasanya sederhana, dengan bermain bola maka sepatunya akan cepat rusak. Karenanya Camus lebih suka sebagai kipper yang tidak banyak bergerak. Secara sublime ia menemukan cara untuk tetap bermain bola dan menikmati keriuhan kerjasama dengan para bak di depannya. Budi berkesimpulan ‘sepakbola memerlukan cara-cara yang sublime untuk keluar dari kerumitan’.

Dan sebelum menutup hari dengan senja, Budi melongok Stadion Siliwangi yang sedang dipergunakan pemain Persib berlatih. Persib era Ajat Sudrajat dan Kapten Adeng Hudaya sepertinya sangat berbeda dengan cara Om Farhan mengelola tim itu. Budi masih hafal pemain yang melawan PSMS Medan dihadapan 120 ribu penonton di Stadion Senayan Jakarta. Sebuah moment pentasbihan sepakbola yang penuh spirit kemanusiaan.
(hanya dari guratan multitasking nyambi kerja…kata seorang teman yang jenaka)

Sebaris Kalimat Nil Maizar dari Brunei

Mendadak,   Nil Maizar kini sudah jadi sahabat dekat saya.
Dalam beberapa kali pertandingan ujicoba timnas, saya selalu kirim pesan singkat setiap usai pertandingan pada pelatih timnas itu.  Entah itu sekadar ucapan selamat, atau berbentuk kalimat yang membesarkan hati, kalau hasil “Garuda” kurang memuaskan.
Tapi yang luar biasa,   satu atau dua jam paling lama kemudian,  dia pasti  akan nelpon balik.  Tidak lama, paling cuma lima belas menit.  Mengesankan,  dia begitu antuasias dan apa adanya bercerita tentang tim dan pemainnya, tentunya juga tentang pertandingan yang baru saja selesai.
Misalnya, saat lawan Korea Utara dia sedikit  “trenyuh” karena pemainnya kecolongan dua gol. Padahal mereka sudah bermain begitu disiplin, penuh semangat,  dan mampu menahan kontestan Piala Dunia 2010 itu bermain kacamata hingga pertengahan babak kedua.
Dengan gaya sedikit sok tahu, saya cuma bisa menghiburnya, bahwa hasil akhir bukan segalanya untuk laga  ujicoba seperti ini. Yang penting dari segi permainan Ellie Aiboy Cs memperlihatkan progress yang menggembirakan.  Lagi pula, Korea Utara memang satu kelas diatas.  Mungkin diujung telepon sana dia cuma cengengesan,  sok tau lu!
Begitupun saat lawan Vietnam di GBT.  Ketika itu dia sedikit “gemas”,  karena permasalahan utama yang muncul kali ini adalah finishing touch pemain yang masih lemah.  Sejumlah peluang  gagal dikonversi jadi gol oleh Irfan Bachdim Cs.  Saya pun kembali menghibur,  itu hal yang biasa karena tinggal mengasah ketajaman para bomber saja.
Semalam,  ketika “Garuda” menggilas Brunei 5-0, saya beri dia ucapan selamat atas kemenangan pertamanya di laga internasional. Kali ini dia tak lagi trenyuh atau gemas.  Suaranya bening, diselingi tawa cerah dan berbicara penuh semangat. Dalam hati, saya ikut merasakan kegembiraan yang diekspresikannya. Saya merekam di memori saya satu kalimatnya yang sungguh berkesan.
“Apapun itu, sebuah kemenangan yang diperoleh dengan semangat dan perjuangan gigih, sungguh terasa manis dan membanggakan.  Meski kata orang kita memang sudah seharusnya menang, karena lawan kita cuma Brunei.  Tapi yang membuat saya gembira, bukan karena skor 5-0 itu,  tapi karena anak-anak menunjukan mereka bermain dengan hati, dan mereka menyadari betul  kostum apa yang mereka pakai.”
Ya, Nil memang tak salah. Para pemain yang oleh sebagian orang selalu diejek dan diintimidasi dengan sebutan menyakitkan; Timnas Tarkam, timnas Djohar, atau Timnas IPL dan segala macamnya, tetap menunjukan spirit yang luar biasa.  Mereka tak menunjukan keangkuhan di lapangan, mereka bermain seolah yang dihadapan mereka bukan Brunei,  tetapi  Malaysia, Thailand, Vietnam,  atau Singapura.
Senang rasanya, melihat Irfan Bachdim kembali bertaji dan tak henti berlari mengintip peluang. Sama senangnya melihat Taufik yang begitu tenang membagi bola, dan Vendry Mofu yang terus bergerak demi mendapatkan ruang melepaskan cannon ball-nya.
Atau, lihatlah Ellie Aiboy,   dia seperti tak peduli tubuh rentanya yang kelelahan.  Dengan pengalaman dan skill-nya, dia terus berkreasi mencari celah untuk melempar crossing ke kotak penalti lawan. Jangan lupa, kwartet  Nopendi, Wahyu Wijiastanto, Hamdi Ramdan dan Novan Setya, yang makin tenang dan dingin di barisan pertahanan.
Nah. terlepas dari lawan yang “cuma” Brunei, pantaskah kita mengkerdilkan apa yang sudah ditunjukkan para anak bangsa itu?  Harusnya hargai mereka,  apresiasi keringat yang mereka telah keluarkan. Setidaknya, mereka telah menunjukan,  mampu dan mau berbuat sesuatu yang berarti untuk bangsa ini.
Saya hanya berharap, trend dan grafik yang terus  menanjak dalam tiga laga ujicoba terakhir, bisa makin membaik  di AFF 2012 nanti.  Saya optimis,  jika spirit dan semangat ini bisa dipertahankan, dan polesan teknis terus dilakukan coach Nil,  mereka tak perlu minder bertemu Malaysia, Singapura, atau Thailand sekalipun nanti.
Mari kita dukung mereka.

Sepak Bola Menjadi Inspirasi Seniman Indonesia

Pasti kita terbang tinggi bila terus berlari, teruskanlah tanpa henti.(Tendangan dari Langit- Kotak)

Kendati dalam masa yang sangat lama, gelar juara belum bisa diraih kembali oleh timnas Indonesia, namun sejumlah hal menarik tetap menyertai penampilan mereka. Dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada tiga kali momentum yang cukup mengesankan. Yang pertama adalah aksi Skuad Garuda di Piala Asia 2007 yang berlangsung di Jakarta. Tim asuhan Ivan Kolev waktu itu menang atas Bahrain, lalu hanya kalah tipis dari Arab Saudi dan Korea Selatan. Selanjutnya adalah aksi Firman Utina dkk di Piala AFF 2010. Tim asuhan Alfred Riedl bermain sangat impresif dari pertandingan pertama hingga semifinal di Jakarta, sebelum akhirnya kalah dari Malaysia pada final pertama di Kuala Lumpur. Yang terakhir adalah aksi timnas U-23 di SEA Games 2011 yang juga berlangsung di Jakarta. Tim asuhan Rahmad Darmawan pun tampil apik dari pertandingan pertama hingga final. Meski semua akhirnya berujung pahit, namun punggawa Tim Merah Putih telah menebarkan kebahagiaan sesaat bagi kita yang sempat merasa bangga dan bersatu sebagai bangsa Indonesia. Kesan positif pun telanjur menjadi inspirasi yang merasuki alam pikiran dan ruang hati para seniman dalam beragam bidang. Mereka secara kreatif menghasilkan karya seni berupa film, sinetron, lagu, dan juga novel tentang sepak bola Indonesia.

Dalam lima tahun terakhir, tersebutlah sejumlah film layar lebar di tanah air yang berlatar belakang sepak bola, seperti : ’The Conductors’ (2008/sutradara : Andibachtiar Yusuf), ’Gara-Gara Bola’ (2008/Agasyah Karim dan Khalid Kashogi), ’Garuda di Dadaku’ (2009/Ifa Isfansyah), ’Romeo & Juliet’ (2009/Andibachtiar Yusuf), ’Golden Goal ! Bola Itu Bundar’ (2011/Mirwan Soewarso), ’Tendangan dari Langit’ (2011/Hanung Bramantyo), dan ’Garuda di Dadaku 2’ (2011/Rudi Soedjarwo).

Ifa Isfansyah, Hanung Bramantyo, dan Rudi Soedjarwo termasuk barisan sutradara terbaik Indonesia mutakhir, yang pernah meraih Piala Citra dalam karyanya yang lain. Sementara itu Andibachtiar Yusuf tampaknya memang kreator film spesialis sepak bola. Kabarnya lelaki berkaca mata itu tengah mempersiapkan film terbarunya yang berjudul ’Hari Ini Pasti Menang’ yang diangkat dari novel ’Menerjang Batas’ yang mengisahkan Gabriel Omar Baskoro yang menjadi andalan timnas Indonesia di Piala Dunia 2014 Brasil. Selain sebagai sutradara film, kita mengakrabi sosok Andibachtiar Yusuf sebagai kolumnis dan komentator sepak bola jempolan.

Pada awal tahun 2012 sinetron serial bertema sepak bola pun muncul di televisi, yaitu : ’Garuda Impian’ di SCTV dan ’Tendangan Si Madun’ di MNCTV, yang tokoh utamanya adalah bocah-bocah yang jago main sepak bola. Yang menarik, mantan pemain nasional Rochy Poetiray (dan Rahmad Darmawan sebagai cameo) ikut bermain dalam ’Garuda Impian’, sementara kapten timnas U-14 Yusuf Mahardika bahkan menjadi pemeran utama ’Tendangan Si Madun’. Sebelumnya di tahun 2011 SCTV juga pernah menayangkan film televisi spesial yang terinspirasi kisah nyata beberapa pemain timnas, seperti : Firman Utina, Hamka Hamzah, dan Cristian Gonzales.

Tampaknya dalam lima tahun terakhir pula, tercipta lagu-lagu enerjik dari musisi Indonesia yang terinspirasi dari aksi Skuad Garuda, seperti : ’Garuda di Dadaku’ (Netral), ’Dari Mata Sang Garuda’ (Pee Wee Gaskins), ’Garuda Fights Back’ (GIGI), ’Tendangan dari Langit’ (Kotak), ’Selamanya Indonesia’ (Twentyfirst Night), dan ’Garuda Impian’ (Orion). Kemudian di dunia sastra, Andrea Hirata yang merupakan penulis best seller tetralogi ’Laskar Pelangi’ pun merilis novel ‘Sebelas Patriot’ yang khusus dipersembahkan bagi sepak bola Indonesia.

Semua hasil karya para seniman tersebut senantiasa membangkitkan semangat kita untuk tetap menjaga asa dan tak pernah menyerah.

Sayang sekali, PSSI sebagai organisasi yang bertanggung jawab memajukan sepak bola negeri ini telah berkali-kali gagal memanfaatkan momentum yang ada. Yang terakhir, sehabis SEA Games 2011 justru terjadi ‘perang saudara’ antara pengurus PSSI dengan sejumlah anggotanya sendiri yang akhirnya mendirikan KPSI. Buah pahit konflik yang sudah dipetik PSSI Djohar Arifin menjadi ’prestasi’ yang sangat menjengkelkan bagi rakyat Indonesia, seperti kekalahan terbesar timnas senior dari Bahrain dalam Kualifikasi Piala Dunia 2014 (29/2) maupun kekalahan timnas U-21 dari Brunei Darussalam dalam final Hassanal Bolkiah Trophy (9/3) lalu.
Tapi biar bagaimanapun, harapan memang mesti tetap dinyalakan. Suatu ketika Skuad Garuda bakal menjadi juara dan bahkan mungkin saja tampil di Piala Dunia. Hal itu bukan hanya di dunia fiksi, melainkan terwujud di alam nyata jua. Mengutip testimoni Rahmad Darmawan dalam novel ’Menerjang Batas’ : “Hidup dimulai dari mimpi yang bertingkat. Yang ada di level terendah menyebutnya khayalan, lalu ada realita yang berada pada tataran tertinggi.”

Mari kita terus bermimpi yang semoga mampu menjadi motivasi dalam melangkah, agar kelak mengejawantah sesuatu yang indah.

Karena kita adalah pasukan yang tak akan menyerah. Terus berlari dan berjuang untuknya, Indonesia.. Indonesia.. Kalahkan semua lawan demi kejayaan negeri ini. Kepakkan sayap Sang Garuda Impian. (Garuda Impian – Orion)

Relativitas Sepakbola

Ketika mengambil alih Northampton Town tahun 1907, pelatih Herbert Champan menyadari betapa mendominasi bola tidak cukup untuk memenangkan pertandingan. Kemenangan, menurut Chapman, lebih banyak ditentukan oleh kapan dan dalam keadaan apa sebuah tim menguasai bola, dan bagaimana menyerang lini belakang lawan.
Chapman tercatat sebagai pakar teori counterattacking football pertama. Ia mengembangkan prinsip-prinsip bermainnya, dan meraih sukses di Huddersfield dan Arsenal. Gaya bermain Chapman tidak populer. Kritikus menuduh Chapman mengembangkan gaya permainan untuk para pengecut, dan mengkhianati semangat pertandingan.
Chapman tidak peduli. Ia terus mengembangkan permainannya. Kini, gaya bermain Chapman menjadi salah satu pilihan bagi tim-tim di seluruh dunia.
Di Euro 2012, gaya bermain Chapman -- meski mungkin orang tidak ingat lagi pada pelatih legendaris ini -- terlihat dalam laga Belanda-Denmark, Jerman-Portugal, Spanyol-Italia, Irlandia-Kroasia, dan Prancis-Inggris. Pengaruh Chapman juga sempat terlihat pada laga babak pertama Polandia-Yunani.
Sebagian tim bermain proaktif; menyerang sejak menit pertama dan berupaya mencetak gol cepat untuk menggoyahkan stabilitas psikologis lawan. Tim lainnya memilih reaktif; bertahan, seraya menunggu kesempatan melakukan serangan balik atau set-play.
Jonathan Wilson, kolumnis sepakbola The Guardian, menulis setiap tim yang hadir di turnamen seperti Kejuaraan Eropa akan terombang-ambing pada pilihan; proaktif dan reaktif. Namun di Euro 2012 setiap tim seolah telah menentukan pilihan jauh hari sebelum tiba di Ukraina dan Polandia.
Spanyol memainkan tiki-taka. Italia memainkan catenaccio. Inggris, terinspirasi sukses Chelsea, memarkir bis di depan gawang saat menghadapi Prancis.

Melumpuhkan Tiki-Taka
Spanyol identik dengan Barcelona dan tiki-taka. Di liga domestik, Barca memainkan gaya ini, dan menjadikannya juara. Di level internasional, Spanyol menggunakan tika-taka untuk menjadi juara Piala Dunia kali pertama.
Di level domestik, Real Madrid mungkin satu-satunya tim yang bisa meladeni permainan tiki-taka Barcelona dengan sepakbola menyerang. Itu pun setelah Jose Mourinho belajar keras dan menelan beberapa kekalahan dalam dua musim.
Di level internasional, menurut catatan Jonathan Wilson, hanya ada satu tim yang mampu meladeni tiki-taka Spanyol di Piala Dunia 2010, yaitu Cile di bawah pelatih Marcelo Bielsa. Cile kalah 1-2, setelah Marco Estrada dikeluarkan, tapi mampu menekan Spanyol dengan sepuluh pemain sampai menit terakhir.
Del Bosque mengenang laga ini dengan satu komentar menarik; "Jantung saya mulai berdetak normal setelah wasit meniup peluit akhir laga."
Chelsea lebih memilih memarkir bis di depan gawang saat meladeni Barcelona di semi-final Liga Champions 2012. Roberto Di Matteo juga menggunakan cara sama saat meladeni Bayern Munich di final.
Namun Chelsea bukan tim pertama yang menggunakan cara itu untuk menghadapi tiki-taka. Paraguay melakukannya di Piala Dunia 2010. Gerardo Martino, pelatih Paraguay, menginstruksikan pemainnya membiarkan Spanyol mengotak-atik bola di lapangan tengah, dan berreaksi cepat menutup seluruh ruang pertahanan saat Xavi, Andres Iniesta, dan David Villa, mulai masuk ke jantung pertahanan.
Di garis tengah lapangan, Nelson Haedo Valdez menunggu umpan-umpan jauh dari lini belakang, menerima, melarikan bola dengan kecepatan tinggi, dan bertarung dengan Carles Puyol. Valdez menjalankan tugas ini dengan sangat baik, yang membuat lini belakang Spanyol kelabakan. Iker Casillas panik, dan nyaris membuat blunder. Gerard Pique terpaksa menjatuhkan Oscar Cardozo, yang berakibat penalti.
Paraguay kalah 0-1, tapi Martino memperlihatkan selalu ada cara melumpuhkan tiki-taka, karena permainan seperti ini membutuhkan keseimbangan antara possesion and position.
Zdenek Zeman, pelatih baru AS Roma, mengatakan tiki-taka adalah permainan sepakbola mubazir yang bikin lelah mata penonton. Tiki-taka bisa dikalahkan oleh permainan efektif dan efisien.
Reaktif bukan negatif. Italia memainkan sepakbola reaktif, namun -- mengacu pada teori Chapman -- Azzurri kerap tidak pada posisi terbaik untuk menyerang saat mendapat bola. Mereka hanya memperoleh sekali lewat Andrea Pirlo, dan menjadi gol.
Denmark melakukan hal serupa ketika mengalahkan Belanda lewat gol Michael Krohn-Dehli. Inggris, setidaknya di babak pertama, juga melakukan hak serupa.
Jerman menjadi tim paling proaktif dalam dua tahun terakhir, menyusul sukses mengalahkan Australia, Inggris, dan Argentina, di Piala Dunia 2010.  Namun pelatih Joachim Low pasti melihat bagaimana Bayern Muenchen putus asa menghadapi Chelsea di final Liga Champions.
Sejak Piala Dunia 2010, telah banyak yang tahu kelemahan tiki-taka, tapi gaya ini belum akan habis. Setidaknya, dalam dua tahun ke depan Barca dan Spanyol, masih akan menggunakannya.

Asas Ketidak-pastian
Sejarah sepakbola mencatat sejumlah legenda sepakbola proaktif; Rinus Michels di Ajax, Arrigo Sacchi bersama Milan, dan Pep Guardiola di Barcelona. Di sisi yang berbeda, reactive football dimainkan dengan sukses saat Arsenal di bawah Chapman, Inter Milan di bawah Helenio Herera, dan Chelsea sejak ditangani Roberto Di Matteo.
Keduanya terlihat berseberangan, tapi sebenarnya tidak. Menurut Sacchi, tim-tim besar memiliki karakteristik yang sama; ingin mengontrol lapangan dan menguasai bola. "Pemain harus tahu kapan menjaga lawan, dan kapan menguasai ruang."
Satu hal lagi, masih menurut Sacchi, jangan gunakan respon lawan sebagai titik referensi. Pemain di sebuah tim besar pasti tahu bagaimana reaksi kawan ketika salah satu rekannya menguasi bola.
"Sepakbola sangat rumit. Ketika Anda menyerang, Anda harus tetap mampu menjaga jarak dengan pertahanan," demikian Sacchi. "Anda harus memilih waktu yang tepat saat menyerang, dan metode mumpuni untuk menerobos pertahanan. Jika Anda tidak memiliki semua ini, atau kehilangan salah satunya, permainan tidak akan harmonis."
Sebelum Sacchi, Michels memperlihatkan sepakbola adalah permainan tim. Ajax di bawah Michels tidak punya soloist, alias pemain yang paling menonjol. Sacchi membutuhkan trio Belanda; Ruud Gullit, Marco van Basten, dan Frank Rijkaard, sebagai kreator di semua lini. Bersama ketiganya, Milan bermain sebagai unit.
Sacchi, Michels, Herrera dan Chapman, boleh saja menjadi legenda dengan gaya bermain yang dikembangkan. Namun, semua pasti sepakat bahwa ada prinsip ketidak-pastian dalam sepakbola.
Artinya, sepakbola adalah permainan relatif, alias tidak mutlak. Sebuah strategi yang akan dimainkan membutuhkan sumber daya yang terlatih untuk memainkannya, karakter lawan yang akan dihadapi, kondisi lapangan dan cuaca. Sebagai contoh, strategi apa pun tidak akan berjalan jika dimainkan di dataran tinggi Quito, ibu kota Ekuador karena pemain kehabisan nafas setelah berlari 30 menit.
Ketika Spanyol memasukan Fernando Torres dalam laga melawan Italia, Del Bosque melihat timnya kehilangan kontrol atas ritme permainan. Namun, Spanyol punya beberapa peluang mencetak gol.
Pilihannya memang serba sulit, tapi keharmonisan adalah kunci sebuah tim menjadi juara.

Opini Terhadap Sepak Bola Dalam Negeri

Ada suatu peribahasa yang saya kenal/ketahui dari buku “Inconvenient Truth” dari Al-Gore, seorang yang berkampanye akan bahayanya global warming di seluruh belahan dunia. Peribahasa itu berbunyi demikian “Jika ingin pergi cepat, berjalanlah sendiri; jika ingin pergi jauh, berjalanlah bersama” yang menurut saya suatu konsep bukan saja menunjukkan kebersamaan tetapi konsep integrasi antar komponen untuk mengantarkan mereka berjalan jauh.
 
Integrasi menurut KBBI adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Dan konsep integrasi sebenarnya bisa terlihat dari berbagai macam produk teknologi, konsep perusahaan, maupun tubuh manusia itu sendiri. Jika kita berhasil menjalankan konsep integrasi dengan benar dan tepat sasaran percayalah bahwa kita akan berjalan jauh.
 
Di dalam industri sepakbola modern, konsep integrasi bahkan sudah dibuat lebih spesifik dan terdefinisi dengan baik. Liga Inggris merupakan salah satu contoh terbaik, bagaimana mereka mengombinasikan sisi pemasaran, sisi sosial, dan sisi olahraga menjadi satu kemasan yang bernama Barclays Premiere League yang digandrungi hampir seluruh penduduk dunia saat ini. Sejak tragedy Hillsborough dan Heysel, Liga Inggris membangun diri kembali dari titik terendah untuk bisa mencapai seperti saat ini. Dan kita hanya melihat hasilnya saja dan tanpa memperdulikan seberapa berat usaha mereka membangun kembali Liga tersebut. Dan bukan itu saja, mereka juga mengedukasi para penikmat berat sepakbola untuk menjunjung tinggi sportifitas dan kampanye yang teraktual adalah memusuhi rasisme. Dan hal-hal tersebut didukung oleh keprofesionalan dari setiap komponen/stakeholder Liga itu sendiri. Dari pembuat peraturan selaku federasi, pemilik klub, pemain, pelatih dan staf, serta supporter. Tidak gampang membentuk sebuah liga berkualitas yang bangsa Indonesia seperti saya mimpikan.
 
Dan PSSI sekarang masih jauh dari kata profesional dalam mengatur sebuah Liga berjalan dengan baik. 2 Liga dalam 1 negara seakan memecahbelah konsep “Persatuan”. PSSI tidak mendapatkan dukungan karena memang mau cara instan dalam membangun sebuah Liga berkualitas dan mengesampingkan sisi proses. Setiap masa kepemimpinan PSSI selalu mengejar prestasi yang terlihat ketimbang yang tidak terlihat. Prestasi di kedepankan dan pembinaan dilupakan. Tidak ada rancang biru untuk mencapai visi sepakbola Indonesia disertai misi-misi yang jelas untuk mencapainya! Dan parahnya jika mereka ingin mencapai visi tersebut dalam jangka pendek sehingga menimbulkan keputusan-keputusan yang bersifat instan.
 
Masa kepemimpinan PSSI acap kali ingin ditunjukkan dengan prestasi yang kelihatan dari Tim Nasional (Timnas). Menjuarai sebuah kompetisi adalah harga mati, atau mencapai target yang dibebankan harus dicapai. Timnas kita diberi beban berat hanya untuk memuaskan nafsu instan para pengurus PSSI. Apakah tidak konyol jika kita bermimpi masuk ke Piala Dunia 2014 saat berada dalam grup neraka? Walaupun bola itu bundar, kadangkala kita juga sebagai masyarakat harus berpikir realistis untuk hal-hal demikian. Dalam keadaan liga yang carut marut seperti ini, kita bagaikan pungguk yang merindukan bulan.
 
Selain pengurus PSSI, kita juga para penikmat sepakbola harus dibina. Kerusuhan antar kelompok supporter dan perilaku bagai orang-orang tanpa peradaban harus dihilangkan atau direduksi seminimal mungkin. Kita juga harus dididik bagaimana sportifitas itu. Sportifitas bukan saja menerima kekalahan dan tetap mendukung tim tersebut. Jauh dari itu, sportifitas itu menunjukkan cara bagaimana kita akan bersikap sebagai penikmat sepakbola. Sportifitas menunjukkan kualitas diri seseorang, kualitas dari pendukung tim tersebut, serta kualitas dari tim yang mereka dukung.
 
Fasilitas persepakbolaan Indonesia juga jauh dari standard, hanya beberapa daerah saja yang memiliki fasilitas berstandard internasional baik itu stadion maupun tempat latihannya. Di satu sisi, pemerintah sebagai pihak penyelenggara negara yang lebih besar dari PSSI terlihat ogah mendukung. Dan saya melihat hal tersebut adalah sebuah kewajaran, karena tidak ada prestasi yang kelihatan maupun yang tidak terlihat dari PSSI akhir-akhir ini. Bahkan keburukan lebih banyak daripada prestasi. Pemerintah terlihat berat menginvestasikan uang mereka ke proyek-proyek sepakbola dan itu terlihat tidak adanya dukungan saat PSSI ikut mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Di lain pihak itu merupakan keputusan politis, tapi saya melihat bahwa pemerintah tau diri melihat kondisi sepakbola Indonesia. Di sisi lain, sedikit investor yang ingin masuk ke klub-klub liga Indonesia kecuali klub tersebut memiliki basis supporter yang melimpah seperti Persib atau Persija.
 
Tidak ada cara lain selain duduk bersama, para stakeholder sepakbola, baik itu pengurus federasi, pemain, pelatih, wasit, kelompok supporter, pemilik klub, pebisnis yang ingin berinvestasi, sponsor, serta pemerintah menciptakan cetak biru yang dibuat lebih spesifik, dan siapa saja pengurus yang akan memimpin PSSI harus mengikuti cetak biru yang dirancang tersebut. Setiap masa kepengurusan harus terintegrasi dengan cetak biru yang dibuat. Janganlah para pengurus PSSI melihat hasil, tetapi lihatlah bagaimana proses itu seharusnya dilakukan. Setiap detail harus diperhatikan, setiap aspek harus menjadi perhatian. Sama seperti komponen teknologi harus terpadu di setiap aspeknya. PSSI jangan hanya memikirkan diri sendiri dalam bekerja, karena sepakbola Indonesia adalah milik seluruh masyarakat Indonesia, PSSI hanyalah pengatur dan pengarah agar sepakbola Indonesia tetap berada pada jalur yang benar. Para pengamat pun memiliki fungsi untuk mengawasi agar PSSI selalu ada dijalur yang benar bukan untuk menghakimi pengurus PSSI. Ciptakanlah sesuatu yang sempurna untuk mencapai hasil yang sempurna. Sama seperti perkataan ayah angkat Steve Jobs “tanda dari keahlian yang hebat adalah memastikan aspek yang akan tetap tersembunyi, dibuat dengan indah” bahwa semua aspek harus terintegrasi sempurna. Tuhan ada di setiap detail (Steve Jobs). Ayo maju Indonesia, maju persepakbolaan Indonesia.

Kemungkinan Menduetkan Messi-Ronaldo di PSG ?

Nasser Al Khelaifi menyebutkan bahwa PSG belum berhenti mendatangkan pemain-pemain terbaik dunia ke Parc de Princes. Chairman PSG ini punya proyek ambisius untuk membangun klubnya menjadi yang terkuat di dunia.

Salah satu caranya adalah dengan mendatangkan pemain-pemain paling berbakat. Kebetulan, PSG merupakan klub yang didukung dengan dana melimpah oleh konsorsium asal Qatar.

Uang bukanlah masalah bagi PSG. Potensi masalah justru datang dari aturan Financial Fair Play yang akan diterapkan oleh UEFA. Karena itu, PSG juga akan meningkatkan program pengembangan pemain muda mereka.

PSG berharap bisa menemukan dan mengorbitkan seorang Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo baru. Namun PSG juga tak menutupi keinginan mereka untuk mendatangkan Messi dan Ronaldo yang sebenarnya.

"Messi dan Ronaldo adalah dua pemain terbaik di dunia saat ini. Akan sangat hebat jika bisa memiliki mereka berdua dalam tim kami. Mereka punya pesona unik, saya menyukai keduanya," ucap Al Khelaifi.

PSG akan butuh dana super besar untuk mewujudkan keinginan mendatangkan dua superstar itu. Ronaldo contohnya. Klub kaya dari Inggris Manchester City sudah siap menawar 200 juta euro untuk kapten Portugal itu.

PSG jelas harus berani membayar lebih banyak untuk bisa mengalahkan tawaran City. Harga Lionel Messi juga tak akan jauh berbeda. Messi dan Ronaldo adalah pemain yang paling mungkin bisa memecahkan rekor transfer dunia saat ini.

“Parkir Bus” (Juga) Teknik Indah Dalam Sepak Bola

Selalu ada banyak cerita pada setiap akhir pertandingan yang dilakoni oleh Barcelona. Siapa saja lawannya, hasilnya sangat menentukan apa yang akan terjadi dikemudian hari. Kitanya begitu yang selalu menjadi buah bibir banyak orang setelah melihat Barcelona mundur dari perebutan dua gelar paling prestasius yang mereka raih di musim sebelumnya.
Barcelona mendapat mimpi buruk di April ini. Kenyataan yang paling pahit adalah dalam sepekan ini mereka telah mengatongi dua kegagalan yang paling serius. Dan pesta klub yang mengalahkan Barcelona justru diraih dihadapan public catalan sendiri.
Empat hari yang lalu (21/04), di lanjutan La Liga, Real Madrid dengan begitu perkasa menghancurkan asa publik Catalan untuk melihat klub kebesarannya memangkas selisih poin dengan Real Madrid. Cristiano Ronaldo yang tampil cukup impresif dengan raihan satu golnya menempatkan Real Madrid pada puncak yang aman untuk meraih gelar La Liga yang sudah empat musim berada dalam lemari trofi Barcelona. Pertandingan yang berakhir dengan kedudukan 1-2 untuk kemenangan Real Madrid ini cukup menegaskan bahwa akhirnya Barcelona sudah benar-benar menyerah mengejar gelar La Liga tahun ini. Meski ada empat partai sisa musim ini, Barcelona sudah terlanjur mengibarkan bendera putih.
Rabu dini hari (25/04), luka publik Catalan bertambah lagi. Chelsea memupuskan asa Barcelona untuk mempertahankan gelar juara turnamen kasta tertinggi di Eropa ini. Messi dkk harus tertunduk lesu setelah gol telat Fernando Torres yang akhirnya membuat agregat menjadi 2-3 untuk kemenangan Chelsea.
Di era sepak bola seperti ini, siapa yang tidak mengenal gaya permainan Barcelona. Filosofi menyerang dan bermain efektif dengan umpan-umpan pendek selalu membuat mereka mendominasi setiap pertandingan yang mereka jalani. Siapapun lawannya, tak akan ada perubahan yang paling berarti dalam strategi Pep Guardiola. Barcelona hanya ingin menyerang, menyerang dan menyerang! Menguasai pertandingan dengan statistik penguasaan bola hingga 78% hampir mustahil bisa dilakukan oleh klub selain Barcelona. Tapi tentu statistik tak akan pernah berpengaruh untuk hasil akhir. Lalu di mana kiranya kesalahan yang harus menjadi perhatian utama untuk mengoreksi kegagalan ini?
Dibawah kendali Pep Guardiola, Barcelona sudah memanen gelar yang cukup banyak dengan segudang rekor dan prestasi tersohor lainnya. Sepak bola tentu seperti sebuah misteri yang sulit diungkap. Tidak ada yang pasti untuk sebuah penegasan terhadap hasil pertandingan sebelum peluit panjang dihembuskan wasit.
Tak ada yang meragukan kualitas dan efektivitas permainan Barcelona. Klub yang bertabur seperti Real Madrid saja akan menerapkan permainan yang super defensif untuk membendung gempuran pasukan Catalan. Hampir setiap lini bisa dikuasai oleh pemain-pemain Barcelona.
Sepak bola bukan “kadang tidak adil” seperti yang diucap Fabregas pascapertandingan melawan Chelsea. Pada dasarnya begitulah sepak bola. Memenangkan statistik dari penguasaan bola hingga jumlah percobaan tendangan ke gawang yang banyak juga tak akan pernah membantu meraih kemenangan bila bola itu tak bersarang dalam gawang lawan.
Sepak bola indah ala Barcelona ini mungkin sudah sangat dipahami oleh lawan-lawannya. Apalagi kesuksesan Real Madrid membendung laju Barcelona di Camp Nou jelas menjadi pelucut semangat Chelsea untuk membalas kekalahan dikandang mereka pada tahun 2009 yang kala itu Barcelona melenggang ke Roma dengan hasil yang cukup kontroversi. Pertandingan yang membuat Tom Henning Ovrebo pensiun dini dari dunia perwasitan.
Sepak bola itu bukan hanya tiki-taka. Ada teka-teki yang harus diungkap dalam sebuah pertandingan. Inilah yang seharusnya menjadi prioritas utama setiap pelatih. Ada beberapa hal yang patut dipelajari atas kegagalan Barcelona pada musim ini. Barcelona yang pada musim sebelumnya menjadi penguasa sepak bola dengan segudang prestasi, kini seperti sebuah klub yang tanpa visi apapun untuk mempertahankan kekuasaan itu.
Faktor Pelatih
Setiap pertandingan sepak bola, seorang pelatih klub tentu sudah menyiapkan strategi yang jitu untuk meraih hasil maksimal. Dalam hal ini, saya melihat, lini pertahanan menjadi kunci setiap kesuksesan lawan-lawan Barcelona. Sebisa mungkin mereka mempertahankan keamanan gawang mereka dari gempuran Lionel Messi dkk. Apa yang diperlihatkan oleh Chelsea dalam dua leg semifinal UCL 2012 ini tentu akan mengingatkan kita pada kisah Inter Milan yang menjadi buah bibir sedunia setelah menaklukkan gaya tiki-taka Barcelona dan berhasil menjadi tim pertama Italia yang meraih trable winner.Dalam sebuah pertandingan, hasil akhir tentu akan berdampak bagi semua. Misal tim itu menang, maka pemain akan mendapat pujian. Sebaliknya, pelatih akan menjadi sorotan bila tim tersebut mengalami kekalahan.
Dengan penguasaan bola yang luar biasa dan unggul jumlah pemain (setelah kartu merah John Terry) Barelona terbukti bisa menambah keunggulan. Akan tetapi, goal Ramires menjelang turun minum cukup membuat publik Catalan gelisah. Dan, memasuki babak kedua, permainan masih dengan tempo dan gaya yang sama. Tak ada perubahan yang berarti hingga gol Torres dipenghujung laga menjadi penentu kandasnya laju Barcelona di kompetisi elit eropa ini.
Beberapa hal yang perlu dicatat di sini adalah ketidakjeliannya seorang Pep Guardiola melihat celah yang bisa dimanfaatkan untuk membalikkan keadaan. Pep hanya memiliki tiki-taka! Dia tidak memiliki strategi alternatif lainnya untuk bisa merubah keadaan. Selama 60 menit lebih Barcelona bisa menguasai bola satu meter di depan kotak pinalti Chelsea. Sama halnya dengan melawan Inter Milan. Tak ada perubahan yang berarti sepanjang pertandingan hingga peluit kekalahan berbunyi.
Setiap pelatih tentu harus memiliki beberapa alternatif strategi untuk bisa membongkar pertahanan lawan. Apalagi untuk teknik “parkir bus” yang dinobatkan atas strategi sepak bola negatif ini. Tak ada yang salah dengan teknik menumpuk pemain untuk mempertahankan daerahnya. Hanya saja bagaimana itu bisa dihancurkan. Itu yang perlu dipikirkan seorang Pep Guardiola.
Saya pikir, dalam era sepak bola ini, Jose Mourinho tentu menjadi pelatih yang paling kreatif dengan segudang pemikiran yang jenius untuk bisa merubah keadaan. Bagi Mou, menguasai jalannya pertandingan namun tidak memenangi pertandinga itu sama saja tak ada arti. Itulah mengapa dia terus berpikir dan menciptakan sesuatu yang unik.
Sejatinya, sepak bola itu adalah sebuah teka-teki yang harus diungkap. Tak akan ada sebuah kepastian mutlak untuk menegaskan siapa yang akan memenangi sebuah pertandingan sebelum peluit wasit berbunyi.
Saya pikir, teknik “parkir bus” adalah keindahan sepak bola dari sudut yang berbeda. Siapa yang sanggup membongkarnya? Dan tentu sepak bola tidak selalu berbicara tentang penguasaan bola dan kemenangan statistik lainnya. Hanya gol yang menegaskan bahwa siapa yang layak untuk memenangi pertandingan! Semoga menjadi pembelajaran bagi kita semua.