Seluruh
pecinta sepakbola tahu bagaimana rivalitas Barcelona-Madrid dalam
menguasai liga domestik tanah Spanyol. Mereka adalah penguasa lebih dari
separuh titel La Liga yang pernah di gelar sejak tahun 1929 silam.
Dalam delapan musim terakhir, keduanya selalu bergantian tampil sebagai
jawara liga negeri matador. Bahkan laga keduanya yang kerap di sebut
sebagai El Classico, acap kali di anggap sebagai duel penentu gelar
juara.
Rivalitas
pun merembet hingga ke persaingan antara mega bintang mereka
masing-masing. El Barca dengan pemain terbaik dunianya, Lionel Messi.
Sementata El Real dengan pemain termahal dunianya, Cristiano Ronaldo.
Bahkan keduanya pun bergantian sebagai pemain terbaik dunia sejak tahun
2008. Rivalitas lain yang terakhir dan paling menarik menurut saya,
adalah persaingan diantara kedua pelatih tim masing-masing.
Josep
Guardiola di Barcelona dan Jose Mourinho di Real Madrid. Banyak stigma
yang bertentangan bila kedua nama tersebut di sandingkan. Josep
Guardiola adalah seorang pelatih yang santun, rendah hati, pun lagi
jenius dengan filosofi sepakbola menyerangnya yang terkenal, Tiki-Taka.
Sementara Jose Mourinho sering di gambarkan sebagai sosok pelatih yang
arogan, sombong, pragmatis dan menghalalkan segala cara untuk menang,
sekalipun dengan Catenaccio ala Inter atau Park The Bus ala Chelsea.
Kurang lebih seperti itulah komparasi keduanya di media.
Bila
kita terjerumus dalam fanatisme berlebihan tanpa mengedepankan akal
sehat, maka bisa di pastikan bahwa Guardiola akan kita sanjung
tinggi-tinggi. Sejatinya dalam pengamatan saya, pembentukan profil
seperti itu adalah hasil kerja dari media pencari berita yang mengambil
untung dari adanya “rivalitas semu” tersebut. Padahal selalu ada cerita di balik cerita.
Fakta
membuktikan bahwa keduanya adalah pelatih terbaik saat ini dengan
sederet raihan gelar, baik lokal, Eropa maupun dunia. Pep memulai karir
kepelatihan dengan sangat luar biasa, meraih Treble Winner di musim
pertamanya! Dengan Tiki-Taka, dia membawa Blaugrana menyabet semua
gelar. Mulai merebut titel La Liga dari musuh bebuyutan Real Madrid,
Copa del Rey hingga trofi Liga Champions Eropa. Sontak seluruh dunia
mengagung-agungkan Barca sebagai yang terbaik di dunia. Los Cules
berjaya dengan hat-trick gelar La Liga setelahnya. Los Merengues sebagai
kolektor terbanyak trofi liga domestik tentu tak ingin selalu di
kangkangi seteru abadinya itu. Maka di tunjuklah seorang yang dianggap
bisa menjinakkan Guardiola dan asuhannya. Adalah Jose Mourinho yang
ketika itu sedang berada dalam puncak karirnya sebagai pelatih, setelah
membawa Inter Milan merengkuh Treble Winner. Mourinho telah beberapa
kali berhasil mematikan peran Lionel Messi ketika melatih Chelsea dan
terakhir Inter.
Walhasil,
sejak 2010 Blaugrana berhasil merasakan kembali gelar juara La Liga dan
Liga Champions. Namun secara perlahan Los Blancos mulai menemukan
kepercayaan dirinya kembali, setelah berhasil mengalahkan Messi dkk di
Final Copa del Rey. Semusim kemudian, kedua klub juga mengukuhkan
sebagai penguasa Negeri Matador, dimana kali ini mereka bertukar trofi.
El Real sukses merebut tahta La Liga dari El Barca, sedangkan tim
Catalan mengambil gelar Copa del Rey milik tim Ibukota. Menjadikannya
kisah yang tak ada habisnya di muat media massa.
Selama
periode tersebut, media telah menciptakan profil dunia sepakbola
seperti karakter Jekyll and Hyde. Dalam kacamata saya, itu hanyalah
stigma bentukan media sebagai komoditas pendongkrak oplah. Tidak lebih.
Setelah pengunduran diri dari pelatih bernama Josep Guardiola i Sala ini
pada akhir musim 2012, berakhir pula kompetisi semu dua personal.
Sekarang
mari kita kupas nilai positif apa yang bisa kita pelajari dari dua
sosok jenius ini dengan mengesampingkan fanatisme dan profil yang di
buat media atas keduanya.
1. Pemenang Sejati:
Dengan
14 gelar dalam 4 tahun masa kerjanya, tak pelak lagi Josep Guardiola di
tahbiskan sebagai pelatih tersukses sepanjang sejarah Barcelona.
Semuanya di raih dengan mengandalkan permainan menyerang dan
kolektivitas tim serta kreativitas taktik tingkat tinggi. Prinsip
utamanya adalah mencetak lebih banyak gol dibanding lawan. Dalam
kehidupan pribadi kita, prinsip tersebut dapat kita adaptasi dalam
membuat kita menjadi pribadi yang unggul di banding orang lain. Dengan
fokus kepada pengembangan diri sendiri, menambah berbagai keahlian,
wawasan dan ilmu pengetahuan, kita akan mengungguli orang lain tanpa
harus mengalahkan siapapun. Pep juga hanya mau memperpanjang kontrak
satu tahun setiap musimnya, hanya untuk membuat dirinya tertekan
sehingga ia tertantang untuk menglahkan dirinya sendiri. Bukan karena
uang.
Catatan
membuktikan, bahwa sejak tahun 2002 Jose Mourinho selalu berhasil
memenangkan gelar juara. Selama kepelatihannya, Mou telah mengkoleksi 20
trofi sebagai bukti kehebatannya. Hanya gelar juara dunia klub yang
belum pernah dirasakannya. Bukan karena timnya dikalahkan oleh lawan,
tapi karena dia selalu berganti klub setelah memenangkan Liga Champions.
Seorang pemenang sejati tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang
dicapai saat ini. Selalu ada tempat baru dengan tantangan yang jauh
lebih besar untuk di taklukan. Jumlah trofi Mou memang kalah fantastis
dibanding Pep. Namun satu hal yang perlu kita catat adalah The Special
One meraihnya dengan empat klub berbeda di empat kompetisi yang berbeda
pula. Tiga kompetisi diantaranya adalah liga utama Eropa, yakni
Premiersip di Inggris, Serie-A di Italia serta teranyar di La Liga
Spanyol. Sementara Pep belum pernah menangani klub selain Barca,
sehingga rekornya masih dapat di gugat dengan hadirnya pemain generasi
emas di tim Catalan. Wajib kita tunggu klub mana yang akan dilatih
Guardiola berikutnya, serta prestasi apa yang akan mengikutinya.
2. Jenderal Cerdas:
Percayakah
Anda, bahwa Barcelona pernah di catat sebagai klub dengan rata-rata
pemain yang paling pendek secara fisik di banding peserta Liga Champions
lainnya? Bagaimana mungkin mereka bisa menutup kelemahan tersebut dalam
menghadapi lawan-lawan yang memiliki postur lebih besar? Disinilah
letak kejeniusan mantan pemain Brescia ini membuat kekurangan menjadi
sumber kekuatan dan inti dari Tiki-Taka. Sebut saja poros serangan yang
berpusat pada Xavi Hernandez-Andres Iniesta dan berakhir pada sentuhan
magis Lionel Messi. Ketiganya adalah pemain yang secara fisik bisa di
katakan mungil namun memiliki kelebihan yang bisa di eksploitasi dengan
baik oleh Pep. Xavi dengan visi dan passing akurat adalah kreator awal
dari setiap serangan yang di bangun. Kemudian Iniesta yang memiliki
kecepatan dengan dribel luar biasa sering merusak pertahanan lawan dari
sisi sayap. Lalu ada Pemain Terbaik Dunia, Leo Messi sebagai penyelesai
yang terlampau cepat bila dikejar, terlalu licin untuk di jaga dan
eksekusi yang teramat sukar untuk di hentikan oleh kiper manapun di
dunia. Ketiganya adalah elemen dari sebuah sistem yang sangat mematikan
sebagai serangan balik yang selalu menghantui lawan. Bahkan Pep kerap
kali memakai formasi False 9 yang terkenal, dimana tidak ada seorang
striker murni di dalamnya. Sehingga setiap pemain adalah striker dan
bisa mencetak gol. Filosofi yang dianut adalah kolektivitas dari setiap
individu adalah kunci kemenangan. Pemain individualistis sekelas
Ronaldinho pun tidak masuk dalam skema permainan.
Dalam
dunia korporasi atau manajemen perusahaan, jelas ini adalah contoh
sempurna dalam memenangi sebuah pertarungan dengan kompetitor. Tidak di
butuhkan Super Man tapi Super Team untuk menang.
Di
sisi lain Jose Mourinho tidak kalah jenius dalam meracik strategi anak
asuhnya, meski terkesan lebih pragmatis. Jauh sebelum memenangi gelar
pertamanya, dia telah menyerap ilmu strategi menyerang dari dua orang
pelatih besar di dunia, Sir Bobby Robson dan Louis Van Gaal. Dia
berhasil melengkapi taktik bermain sepakbola, karena pada dasarnya ia
adalah seorang penganut filosofi permainan bertahan. Mou adalah seorang
pembelajar yang baik, dia sangat memperhatikan kepada setiap detail yang
kecil. “Excellence is attention to details”, begitu kira-kira pepatah
Barat yang terkenal. Sebagai seorang jenderal yang akan memimpin kapten
beserta pasukannya bertempur, dia rela untuk menyaksikan banyak rekaman
pertandingan calon lawan, bahkan datang langsung untuk melihat kelebihan
dan kekurangan lawan. Seperti pernah di ucapkan oleh Sun Tzi, ahli
perang China, “If You know the enemy and know yourself, You need not to
fear the result of a hundred battles”. Ya, sangatlah penting mengetahui
kemampuan diri sendiri di banding lawan, serta mengenali kelemahan lawan
dan menutupi kekurangan diri. Contoh tepat dari filosofi ini adalah
ketika Mourinho bersama Inter Milan menyingkirkan Barcelona asuhan Pep
di semifinal Liga Champions tahun 2010. Dia tahu bahwa Barca akan
kesulitan mengembangkan permainan passing mengalirnya diatas lapangan
San Siro yang buruk. Inter berhasil memanfaatkannya dan menang 3-1. Di
laga selanjutnya, dia menyadari bahwa di Camp Nou nanti El Barca akan
bermain dengan sangat menyerang dengan umpan cepat dan mematikan. Jelas
ini ancaman bagi pasukannya yang tergolong uzur kala itu di banding
lawan. Saya yakin, bahwa sesungguhnya Mou ingin sekali Inter bermain
menyerang, mencetak banyak gol dan menang untuk membuktikan bahwa hasil
di San Siro bukanlah kebetulan. Namun akal sehatnya mengatakan bahwa
gelar juara lebih penting baginya, para pemain, Internisti serta pemilik
klub. Maka dia memutuskan untuk menekan ego pribadi serta seluruh
pemainnya untuk bermain ultra defensive. Catenaccio.
Hasilnya,
Inter kalah 1-0 namun menang secara keseluruhan. Kontan, ketika peluit
panjang berbunyi Mou berlari ke tengah lapangan merayakannya di tengah
cemoohan para Barcelonistas. Bukan karena Inter berhasil lolos, tapi itu
selebrasi kemenangan atas ego-nya sebagai manusia ambisius. Menurutnya,
itu adalah kekalahan terindah dalam hidupnya.
Mou
ingin meraih banyak gelar. Sejak awal Mou sadar peluangnya sebagai
pesepakbola yang sukses sangat kecil. Dia rela berhenti dan memutuskan
menimba ilmu dari staf penerjemah bertahun-tahun lamanya. Ilmu adalah
investasi terbaik dari seseorang, dan dia memetik hasilnya.
3. Great Leadership:
Dalam
hal kepemimpinan, Guardiola dan Mourinho memiliki level yang sama namun
dengan gaya yang berbeda. Pep adalah figur pemimpin tenang, kalem,
rendah hati namun memiliki ambisi juara yang tinggi. Sering kali dia
membelokkan semua pujian kepada para anak buahnya atas keberhasilan
Blaugrana memenangi gelar dengan permainan yang memukau. Dia tidak
pernah terlena oleh sanjungan maupun penghargaan individu sebagai
pelatih terbaik yang jumlahnya melebihi gelar Barcelona di masa
kerjanya. “Sanjungan adalah teror” mungkin itu pesan yang di ingatnya
dari seorang Tukul Arwana. Pep juga berhasil menanamkan filosofi
sepakbola menyerang kepada setiap pemain yang berkostum merah-biru.
Sejauh ini setelah kepergiannya, proses transisi di tubuh Barcelona
berjalan sangat mulus. Karena budaya dan filosofinya telah ditanam, di
pelihara dengan baik, sehingga mengakar dengan kuat di setiap anak
asuhnya. Dia telah meninggalkan sistem bermain yang “mudah” untuk di
mainkan oleh siapapun orangnya. Ini adalah leadership Level 5.
Pengunduran
dirinya adalah bentuk lain dari sikap kesatrianya. Setelah empat tahun
yang bergelimang kejayaan, rasa jenuh mulai menghinggapinya. Ketika
dirinya hanya bisa mempersembahkan gelar Copa del Rey, ia pasti mulai
melihat batas dirinya. Bahkan ia mengatakan tidak lagi merasa senang
ketika menang dan tidak pula sedih ketika kalah. Lagi-lagi ia mengambil
keputusan bukan karena ada tawaran menggiurkan dari klub lain, meski
banyak yang menyodori kontrak fantastis. Ia mundur untuk beristirahat
sementara waktu agar dapat mengembalikan gairah bertandingnya sebagai
seorang pemenang. Sepakbola adalah tentang rasa, emosi. Apalah artinya
kemenangan jika tak lagi dapat dirasa. Hampa.
Sementara
Jose Mourinho adalah seorang pelatih yang memiliki gaya memimpin lebih
retorik dan ego-sentrik. Dia ahli dalam melancarkan psy-war terhadap
calon lawannya dan siap bertanggung jawab atas kesalahan anak buahnya.
Seringkali dia membuat sensasi menjelang pertandingan tertentu atau
seusai laga krusial. Menurut kacamata saya, semua itu dilakukan agar
semua perhatian tertuju kepadanya dan menyelamatkan anak buahnya. Namun
di dalam “rumah” ia tidak segan untuk menyerang anak asuhnya bila tidak
memenuhi standarnya. Benzema pernah di semprot sebagai pemain malas,
lantaran pernah telat latihan. Kemampuannya dalam ber retorika pernah
digunakan untuk membakar semangat para pemain Madrid ketika mengalahkan
Barcelona di Final Copa del Rey 2011. “Ada kekuatan yang jauh lebih
besar dari bom atom. Kekuatan dari keinginan”. Konon kalimat itulah yang
digunakan Mou pada jeda pertandingan yang harus diselesaikan hingga
perpanjangan waktu. Namun berbeda dengan Pep, dia tidak berhasil
meninggalkan spirit bertanding yang sama ketika meninggalkan Inter.
Sudah terjadi lima kali pergantian pelatih setelah kepergiannya dari
Inter. Disinilah letak ego-sentrik dari seorang Mourinho, dia tidak
terlalu mempedulikan klub lebih dari ambisi pribadinya. Jauh hari
dirinya telah mengatakan ingin menjadi pelatih pertama yang memenangkan
tiga gelar Liga Champions dengan tiga klub berbeda. Pastilah banyak yang
mencibir dirinya dengan istilah yang berkonotasi negatif dengan ambisi
pribadinya itu. Namun menurut saya, itu adalah cara baginya untuk
menjaga agar gairah bertandingnya terus menyala. Sesuatu yang mungkin
tidak atau belum dimiliki oleh Josep Guardiola. Dengan perginya Pep dari
La Liga, itu tidak akan membuatnya kehilangan semangat bertanding.
Karena baginya lawan sebenarnya adalah dirinya sendiri, sejauh mana
ambisi tersebut tidak bisa lagi diraihnya.
Dengan
goal (tujuan) yang sedemikian jelasnya dan di buat secara public
committment, saya yakin itu hanya masalah waktu baginya untuk mewujudkan
ambisinya. Terlebih lagi dalam implementasinya dia sangat pintar dalam
menentukan penumpang dan kendaraan yang tepat untuk sampai ke tujuan.
Dia memilih Chelsea, Inter dan kini Madrid sebagai kendaraan karena di
klub kaya itu ia bebas untuk menentukan penumpang yang akan dibawanya.
Andaikata Roman Abramovich sedikit lebih sabar, pastilah Chelsea akan di
bawanya meraih trofi Liga Champions pertamanya lebih cepat. Final itu
bukan milik Avram Grant, dan trofi itu bukan pula buah kerja keras Di
Matteo, tanpa warisan karakter dan mental juara dari Mourinho.
Sama
halnya kita dalam berkarir. Diperlukan kendaraan (perusahaan) yang
tepat yang akan kita gunakan menuju puncak karir. Bila kita sekarang
sedang bekerja di perusahaan yang tidak besar, maka buatlah besar
seperti Mourinho membuktikannya dengan FC Porto. Pantaskanlah diri kita
sebelum memilih kendaraan yang lebih besar. Atau dalam kehidupan
pribadi, kita perlu memilih “kuda tunggangan” (pasangan) yang tepat
untuk membangun keluarga yang berhasil.
Sangat
menarik membahas kedua sosok yang sering dianggap bersebrangan ini.
Tapi daripada membahas kontroversi dan hal negatif yang semu, akan lebih
baik jika kita gunakan akal sehat kita bekerja untuk mencari nilai
positif dari mereka. Berdasarkan penilaian diatas, saya lebih menyukai
sosok Jose Mourinho lantaran kemiripan secara personalitas belaka. Ini
hanyalah pemaparan yang subjektif dari seorang penggemar (bukan
pengamat) sepakbola. Oleh karenanya pendapat segala pihak akan sangat
saya hargai.
Perlu
di tunggu kembalinya seorang Entrenador jenius, Guardiola ke arena
sepakbola agar kita bisa melakukan perbandingan keduanya secara
menyeluruh. Atau paling tidak mengubah pandangan saya bahwa Mou tidaklah
lebih baik ketimbang dirinya. Tapi sejauh Pep belum membuktikan
kehebatannya dengan klub selain Barca, Jose Mourinho tetaplah The
Special One, and The Only One dalam era sepakbola modern.
Salam Sportivo..!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar